Indovoices.com-Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani, menjelaskan alur Dana Bagi Hasil (DBH) yang dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. DBH ini sebelumnya menjadi polemik utang piutang antara pemerintah pusat dengan Pemprov DKI di bawah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Secara umum, DBH adalah pendapatan pajak dan Sumber Daya Alam (SDA). DBH bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan perekonomian pusat dan daerah. Lewat DBH, setiap daerah yang belum mampu mandiri dapat membiayai sendiri kebutuhannya.
“DBH dibagikan kepada daerah penghasil sesuai dengan porsi yang ditetapkan, serta dibagi dengan imbangan daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar,” imbuhnya melalui akun media sosialnya.
Menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, prinsip penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagi-hasilkan pada tahun anggaran berjalan.
Berdasarkan UU tersebut, DBH baru bisa dibayarkan oleh pusat setelah tutup buku akhir tahun dan telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga akuntabel. Jika setelah audit BPK ada potensi kekurangan atau kelebihan bayar, maka sekalian akan dibayarkan ke daerah.
Singkatnya, DBH tahun 2018 baru akan terealisasi pada pertengahan tahun 2019 setelah melalui audit BPK. Jika ada potensi kurang bayar pada 2018, maka akan dibayarkan pada 2019 dan seterusnya.
Potensi kurang bayar juga baru diketahui pasti setelah audit BPK selesai, biasanya DBH dibayarkan pada sekitar bulan Agustus-November.
“Ketika audit BPK selesai, akan diketahui angka realisasi sebagai dasar DBH, maka dihitung ulang sesuai realisasi dan dibayarkan ke daerah,” kata Yustinus.
Sementara itu, daerah memerlukan dana untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Nah, untuk mendukung pelayanan publik tersebut, DBH disalurkan secara triwulanan atau kuartalan.
Dalam kasus DBH DKI Jakarta, pemerintah mempercepat pembayaran DBH kurang bayar pada April untuk membantu menangani dampak pandemi covid-19. Pembayaran DBH pada April ini sesuai PMK 36/2020 untuk DKI dibayar 50 persen atau senilai Rp2,5 triliun.
“DKI punya hak atas kurang bayar DBH 2019 sebesar Rp5,1 triliun dan audit BPK 2019 belum selesai,” ujarnya.
Artinya, lanjut Yustinus, tidak ada utang DPH pusat ke Pemda. Sebab, DBH memang baru akan dialokasikan setelah tutup buku tahun dan telah diaudit BPK.
“Uang di pusat cukup, justru pembayaran DBH realisasi 2019 (audited) dilakukan lebih awal. Ini fakta sebenarnya,” tandas Yustinus.(cnn)