Indovoices.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan soal perlindungan hukum bagi anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menangani anggaran wabah corona. Ketentuan itu dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Virus Corona.
“Ini memberikan perlindungan yang seharusnya ada, tapi tidak berarti kami bisa menyalahgunakan perlindungan itu,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers online di Jakarta, Rabu, 1 Maret 2020.
Adapun KSSK ini terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Lewat Perpu ini, pemerintah baru saja menggelontorkan stimulus sebesar Rp 405,1 triliun untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia di tengah virus corona. Lalu dalam Pasal 27 Perpu ini, dicantumkan tiga bentuk perlindungan hukum tersebut.
Pertama, biaya yang telah dikeluarkan pemerintah saat ini merupakan upaya penyelamatan ekonomi, bukanlah kerugian negara. Kedua anggota KSSK tidak dapat dituntut pidana dan perdata, sepanjang melaksanakan tugas dengan itikad naik dan sesuai peraturan. Ketiga, keputusan yang diambil berdasarkan Perpu ini tidak dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah akan memastikan seluruh prosedur dalam menjalan Perpu ini akan dilakukan dengan akuntabilitas yang baik. Pemerintah akan mendokumentasikan secara rinci setiap kebijakan yang diambil. Sehingga, upaya ini bisa menjadi bentuk pertanggungjawaban ke publik. “Bahkan yang dilakukan ini bukan merupakan konflik kepentingan, niat korupsi, atau memperkaya diri sendiri dan orang lain,” kata dia.
Sejak awal, kata Sri Mulyani, pemerintah pun berkoordinasi dengan Kejaksaan, Polri, KPK, hingga BPK. Upaya ini dilakukan untuk mencegah adanya tindakan moral hazard atau pihak pendompleng yang memanfaatkan langkah penyelamatan ekonomi ini. “Ini akan dirumuskan terus,” kata dia.
Dalam pernyataannya, Sri Mulyani memberikan perhatian khusus pada OJK. Sebab lembaga inilah yang memiliki seluruh kemampuan untuk mengawasi pasar modal, lembaga keuangan bank dan non-bank. Ia berharap OJK bisa benar-benar berupaya untuk memperkecil moral hazard yang mungkin timbul di sektor keuangan.
Sementara itu, pengamat ekonomi Indef, Bima Yudhistira, menilai bunyi pasal dalam Perpu itu membahayakan. Sebab selain kebal hukum, pemerintah terkesan otoriter. “Semacam cara berkelit kebijakan tidak dapat dipidanakan. Pemerintah dalam Perpu ini terkesan otoriter dan kebal hukum. Berbahaya,” ujarnya dalam pesan pendek.
Bima lalu menilai pasal ini akan berpotensi menimbulkan korupsi uang negara dalam jumlah yang tak sedikit lantaran pasal itu merestui adanya penggunaan anggaran penyelamatan yang tak akan dihitung sebagai kerugian. Ia khawatir ke depan, beleid ini justru akan menjadi pengantar bagi tragedi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia jilid II.
“Apalagi nilai stimulus secara total mencapai Rp 405 triliun. Jelas itu uang pajak rakyat dan utang yang ujungnya menjadi beban APBN. Bagaimana mungkin jika terjadi penyalahgunaan tidak disebut kerugian negara?” katanya Bima. (msn)