Indovoices.com- Besarnya risiko dan melemahnya pasokan industri kayu (timber), menjadi hal penting yang membuat sulitnya pengusaha bidang ini untuk memperoleh kredit bagi usaha jenis ini dan turunannya. Catatan Indonesian Timber Council yang diolah dari Kementerian Perdagangan menyebutkan, nilai ekspor industri kayu tidak termasuk furniture di Indonesia hampir tidak mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Bila pada tahun 2014 ekspor kayu lapis dan kayu olahan mencapai 4.289,3 ribu ton atau setara dengan US$2.110,1 juta, maka tahun 2018 ekspor kayu lapis dan kayu olahan menurun menjadi 2.943,9 ribu ton atau setara dengan US$2.435,8 juta.
Penurunan ini, bukan hanya terjadi dari kekurangan persediaan saja, namun juga dari kecilnya kepercayaan pemberi pinjaman akan keberlangsungan usaha ini. Untuk itulah, pemerintah menyediakan sejumlah dana yang diambil dari dana reboisasi, berusaha membangun kepercayaan diri pelaku industri timber dan baik on farm maupun off farm dengan memberikan pinjaman yang dapat diakses melalui Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU–Pusat P2H).
Kepala BLU–Pusat P2H Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Isnantio Rahmadi di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (19/09/2019),”Kami melakukan temu usaha hari ini di Semarang, mengundang pengusaha kehutanan off farm di Jawa Tengah, tujuannya itu saya ingin melihat prospek BLU ini, apakah sudah menjadi bagian dari solusi dari pengembangan industri kehutanan khususnya yang berbahan baku hasil hutan dari kayu.”
Ia menambahkan, “Paling tidak hari ini dan besok, kami bisa mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha disini, apakah industri kayu ini memang masih prospektif, dan mempelajari, mengapa sebenarnya institusi keuangan enggan memberikan kredit kepada jenis usaha ini.”
Badan Layanan Umum ini merupakan unit kerja di Kementerian LHK yang bertugas mengelola fasilitas dana bergulir untuk mendukung pembiayaan usaha kehutanan, perbedaannya, usaha ini walaupun menerapkan bunga, namun tidak berorientasi pada keuntungan, adapun bunga yang ditetapkan nantinya berfungsi menjaga eksistensi dana bergulir sebagai bentuk pembiayaan independen (self-financing).
Pada tahun 2019 BLU Pusat P2H menargetkan Pembiayaan Usaha Kehutanan off farm sebesar Rp150 miliar, keterbatasan pengusaha dalam bermain di industri ini, membuat ruang gerak pengusaha kayu hanya bermain pada on farm atau pada hulu industri seperti penanaman, padahal hilir industri ini atau sering dikenal dengan istilah off farm menjadi lokomotif industri ini dapat tetap berjalan.
Kepala Dinas Lingkungan hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Teguh Dwi Paryono, dalam sambutannya mengatakan, “Semarang memiliki target pertumbuhan ekonomi hingga tahun 2023 sebesar 7%, namun kami ingin menggenjotnya terealisasi di akhir 2020. Salah satu industri yang kita harapkan dapat mendorong ekonomi ini adalah industri kayu off farm, saat ini Jawa Tengah memiliki 4000an pengusaha on farm, dan hanya lima kabupaten yang bermain di bidang off farm, seperti Boyolali, Tegal, Wonosobo, Brebes, dan Muntilan.”
Teguh Dwi Paryono menyampaikan ada 21 UMKM yang telah difasilitasi pembuatan Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) oleh pemerintah Jawa Tengah, dan ada 24 UMKM yang tengah didekati untuk difasilitasi. Dirinya berharap 21 UMKM yang telah memiliki verifikasi legalitas kayu ini, dapat memperoleh fasilitas dana bergulir ini. Dirinya menambahkan pemerintah Jawa Tengah memiliki target meningkatkan usaha-usaha yang ramah lingkungan atau green economy, yang mampu mengurangi beban polusi khususnya di daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Adapun jenis usaha kehutanan off farm yang dapat dibiayai adalah usaha pengolahan hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu, serta usaha penyediaan sarana produksi seperti usaha pengadaan bibit tanaman kehutanan yang bersertifikat, dan usaha pembuatan pupuk organik. Pemerintah juga menetapkan penyediaan dana bergulir ini, diberikan kepada pengusaha yang mengambil kayu bukan dari hutan alam, namun dari hutan tanaman. Peminjam adalah pengusaha baru atau usaha yang telah beroperasi baik sekala mikro atau kecil, yang diperkirakan memiliki omzet Rp300 juta per tahun. Dengan jangka waktu pinjaman paling lama enam tahun.
Penyertaan dana sendiri (self-financing) dalam industri ini juga diperlukan dimiliki oleh pelaku usaha, khususnya pelaku usaha dengan kebutuhan dana di atas Rp1 miliar, di mana BLU hanya akan membiayai maksimal 80% dari kebutuhan dananya saja. Pelaku usaha juga wajib menyediakan sharing dana minimal 20% dari total kebutuhan dana.
Sementera itu, Penasihat Senior Menteri LHK, Prof San Afri Awang menyampaikan, “Indonesia itu telah mengalami senja kala industri rotan, padahal kita punya banyak rotan, namun banyak pelaku penyelundupan di masa lalu, ini salah satu yang menyebabkan industri ini tidur panjang.”
Menurutnya kendala dalam bisnis ini adalah perizinan tanah, dan mereka belum melirik program Perhutanan Sosial. Padahal, pemerintah memberikan akses kelola perhutanan sebesar 12,7 juta hektare kepada masyarakat, bukan korporasi. Itupun baru sekitar 2,7 juta hektare yang dimanfaatkan. San Afri Awang menambahkan program Perhutanan Sosial berpotensi melibatkan sekitar 600.000 petani.
Untuk itu dirinya menyarankan pengusaha industri kayu untuk berjejaring dengan pemegang izin Perhutanan Sosial. Kerja sama ini bisa dimulai dengan melakukan pemetaan potensi bisnis, dari pemetaan ini dapat diklusterkan jenis kayu yang akan diproduksi sehingga proposal usaha yang diajukan untuk dana bergulir ini bisa terlihat dengan jelas, hulu ke hilirnya.(jpp)