Indovoices.com –Serikat Pekerja Pos Indonesia (SPPI) menuntut jajaran direksi PT Pos Indonesia dicopot. Alasannya, dewan direksi dinilai tidak transparan dan memalsukan laporan keuangan perseroan.
Ketua Umum SPPI Akhmad Komarudin mengatakan, Pos Indonesia selalu melaporkan laba dalam laporan keuangan, namun cash flow selalu minim. Menurutnya, kondisi ini tidak wajar, karena jika perseroan melaporkan profit, maka seharusnya tidak ada kesulitan cash flow dalam operasional.
“Kami minta transparansi keuangan, karena kondisinya mengkhawatirkan. Kemudian, kami meminta adanya pengantian direksi pada rapat umum pemegang saham (RUPS) nanti, diganti dengan direksi yang berkinerja baik dan berakhlak,” kata Akhmad, kepada Katadata.co.id.
Ia menjabarkan, kondisi keuangan Pos Indonesia pada 2016 mencatatkan rugi usaha, (laba kotor dikurangi beban usaha) sebesar Rp 132 miliar, namun perseroan mencatatkan laba bersih Rp 353 miliar. Manajemen perseroan menjelaskan, laba dapat diraih karena menjual aset.
Kondisi yang sama juga terulang pada 2017, di mana perseroan seharusnya mencatatkan rugi operasional Rp 241 miliar, namun dilaporkan untung Rp 355 miliar. Kali ini keuntungan diraih karena hasil re-evaluasi aset perseroan.
Mengutip laporan keuangan Pos Indonesia 2017, tercatat perseroan mampu membukukan laba usaha Rp 445,34 miliar berkat lonjakan pada akun pendapatan lain-lain. Pada periode tersebut, pendapatan lain-lain perseroan tercatat sebesar Rp 710,67 miliar, naik 29,83% dibandingkan raihan tahun 2016, yang sebesar Rp 547,38 miliar.
Peningkatan yang cukup pesat tersebut dapat diraih berkat kenaikan signifikan pada akun keuntungan selisih nilai wajar properti investasi, menjadi Rp 265,55 miliar, dari sebelumnya Rp 151,96 miliar atau naik 75,49%.
Kemudian, perseroan juga mencatatkan pendapatan optimalisasi aset sebesar Rp 21,45 miliar, dari sebelumnya tidak membukukan pendapatan pada akun ini. Selain itu, Pos Indonesia juga mencatatkan pendapatan pemulihan kerugian pada 2017 sebesar Rp 25,74 miliar, naik 86,39% dibandingkan tahun sebelumnya.
Tanpa adanya peningkatan signifikan pendapatan lain-lain, kinerja laba usaha perseroan memang negatif Rp 241 miliar, karena laba kotor hanya sebesar Rp 672,74 miliar. Sementara, beban usaha tercatat sebesar Rp 913,96 miliar.
Sementara pada 2018, Pos Indonesia mencatatkan laba bersih Rp 127,45 miliar, anjlok 64,1% dibanding capaian 2017 yang sebesar Rp 355,09 miliar. Adapun, untuk laporan keuangan 2019, perseroan belum mempublikasikannya pada laman resmi.
“Setiap tahunnya perseroan selalu mengalami situasi yang buruk, dan puncaknya pada Februari 2019 telat membayar gaji karyawan,” ujar Akhmad.
Adapun, untuk memenuhi kewajiban operasional bulanan perseroan selalu mengandalkan hasil pinjaman bank dan menjual aset. Lantaran cara pengelolaan yang dinilai tak kredibel dan akuntabel ini, Pos Indonesia kini memiliki utang Rp 2.7 Trilliun.
Tahun ini, SPPI juga menyuarakan penolakan pemotongan tunjangan hari raya (THR). Alasan manajemen Pos Indonesia hendak memotong THR adalah, bisnis logistik sedang lesu terimbas pandemi virus corona atau Covid-19.
Hal ini dirasa SPPI tidak masuk akal, sebab Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia atau Asperindo mengungkapkan, bisnis logistik termasuk sektor yang kuat bertahan di tengah pandemi.
Berdasarkan beberapa kejanggalan inilah, SPPI kemudian menuding bahwa Direksi Pos Indonesia memalsukan laporan keuangan. Serikat pekerja juga menilai manajemen terus melakukan pembohongan, dan tidak melaporkan kondisi perseroan sebagaimana mestinya.
Hingga berita ini ditulis, Direktur Utama Pos Indonesia Gilarsi Wahyu Setijono tidak membalas pesan singkat WhatsApp yang dikirim Katadata. Dia juga tidak mengangkat panggilan telepon untuk konfirmasi ini.(msn)