Indovoices.com –Wuhan pernah menjadi simbol pandemi Covid-19, tetapi kehidupan sebagian besar telah kembali normal di kota berpenduduk 11 juta jiwa di China itu.
Dan tidak cuma itu. Yang mengejutkan banyak orang, Wuhan – tempat virus corona SARS-CoV-2 pertama kali muncul Desember lalu – adalah kota yang paling banyak dikunjungi di China selama periode libur nasional yang disebut Pekan Emas, dari 1 hingga 7 Oktober.
Kota itu menerima hampir 19 juta pengunjung selama liburan, menurut angka dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata provinsi Hubei.
Pada saat yang sama, negara-negara di dunia dilanda gelombang kedua Covid-19, yang di beberapa negara telah berdampak pada lebih banyak orang daripada gelombang pertama.
- ‘Lockdown’ di Wuhan berakhir, warga bisa keluar kota pertama kali sejak Januari
- Bagaimana nasib studi mahasiswa Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan?
- Warga Wuhan menolak karantina: ‘Lebih baik kami mati di rumah’
Tetapi di belahan dunia lain, di Wuhan yang dijuluki “kota heroik” oleh Presiden China Xi Jinping, virus corona telah menjadi kenangan tidak menyenangkan di masa lalu, jika kita percaya pada angka resmi.
Pemerintah China mengatakan bahwa di Wuhan sekarang tidak ada satu pun kasus virus corona, namun banyak ahli dan organisasi percaya bahwa pernyataan ini tidak bisa diterima begitu saja.
“Kelahiran kembali” Wuhan
Sebagai bagian dari perayaan Pekan Emas, pihak berwenang menyelenggarakan “flashmob” di stasiun kereta Wuhan.
Dalam video yang diunggah ke media sosial, ribuan orang terlihat berkumpul, bernyanyi, dan mengibarkan bendera China.
“Wuhan terlahir kembali setelah Covid-19 dengan lebih banyak energi dan vitalitas,” kata Hua Chunying, wakil direktur Departemen Informasi Kementerian Luar Negeri, dalam sebuah twit yang menyertai video promosi.
Vivian Wu, editor BBC China di biro Hong Kong, mengatakan pihak berwenang, dengan bantuan media pemerintah, berusaha menyampaikan citra bahwa semuanya baik-baik saja di Wuhan.
“Dan sampai batas tertentu, memang benar: orang-orang di seluruh China bepergian dan terutama ke Wuhan,” ia menjelaskan.
“Ya, kota itu tampaknya kembali normal, tetapi bagi banyak orang dan banyak pemilik bisnis, keadaan tidak seperti sebelumnya. Dan masih banyak kekhawatiran.”
“Akan tetapi pesan yang kami dapatkan dari propaganda China ialah pemerintah telah berhasil mengendalikan pandemi dengan sukses,” imbuh Wu.
Pada 26 Oktober, China mencatat 91.151 kasus Covid-19 dan kurang dari 5.000 kematian. AS, dengan populasi seperempat dari jumlah tersebut, mencatat lebih dari 8,5 juta kasus dan sekitar 225.000 kematian.
“Ada kasus baru di China, tetapi tampaknya tidak di Wuhan. Dan jika ada, pemerintah menjelaskan bahwa mereka melakukan segala hal untuk menghentikan wabah baru secara cepat dan efisien,” kata Wu.
Dorongan dari negara
Kebangkitan Wuhan sebagai destinasi pilihan wisatawan China tidak semata-mata karena kebetulan — ini adalah hasil dari dorongan pemerintah pusat dan daerah.
Pada bulan Agustus, pemerintah Hubei mengumumkan bahwa sekitar 400 tempat wisata di provinsi tersebut akan dibuka untuk pengunjung dari seluruh negeri secara gratis mulai bulan itu hingga akhir tahun.
Dan meskipun jumlah pengunjung ke tempat-tempat ini dibatasi hanya 50% dari kapasitas maksimumnya dan para pengunjung harus menjalani pengecekan suhu, responsnya tidak terduga.
Banyak turis yang memilih Wuhan selama Pekan Emas mengunjungi Menara Bangau Kuning yang bersejarah di pusat kota.
Bangunan tersebut, dibangun pada tahun 1981, adalah salah satu tempat yang bisa dimasuki secara gratis.
Menurut kantor berita Xinhua, sedikitnya 1000 agen perjalanan dan lebih dari 350 hotel bergabung dalam kampanye pemerintah dengan menawarkan diskon kepada pengunjung.
Kebangkitan Wuhan sebagai tujuan wisata dapat dilihat sebagai pertunjukan kepercayaan diri otoritas China dalam menangani pandemi.
Ini merupakan peluang emas untuk membangkitkan industri pariwisata yang terpukul oleh pandemi.
“Kemenangan” pemerintah
Tapi ini juga melambangkan kemenangan bagi pemerintah China.
Vincent Ni, seorang pengamat China untuk BBC World Service, mengatakan bahwa pemerintah mungkin memang menggunakan Wuhan untuk tujuan propaganda, tetapi ia mengatakan kampanye tersebut “berdasarkan fakta” yang “menunjukkan bahwa situasinya telah membaik”.
“Orang-orang tahu bahwa Wuhan membaik; tidak akan ada yang mengunjungi kota itu jika masih ada virus corona,” kata Ni.
“Orang China bersedia melakukan perjalanan ke Wuhan, yang dulunya merupakan episentrum Covid-19 dan ini, dari sudut pandang pemerintah, adalah kemenangan,” lanjutnya.
Terlepas dari tanda-tanda pemulihan, Akademi Pariwisata China memperkirakan pendapatan pariwisata akan turun 52% pada tahun 2020, dibandingkan dengan 2019. Jumlah perjalanan domestik diperkirakan turun 43%.
Dan Vincent Ni percaya bahwa segala sesuatunya berangsur-angsur kembali normal, tetapi tetap ada pertanyaan apakah pemulihan akan bertahan.
“Seiring musim dingin mendekat, ada keraguan tentang apakah kami akan mengalami gelombang kedua (di China),” katanya.
“Saya pikir ketidakpastian ini ada di benak semua orang China. Tapi untuk saat ini orang menikmati pencabutan batasan-batasan dan kembali ke ‘kehidupan normal’.”
Pedang bermata dua
Ni mengatakan bahwa perasaan normal dirasakan di seluruh negeri dan semakin sedikit orang yang terlihat mengenakan masker di jalan-jalan China.
Bagi lebih dari 20 juta penduduk Beijing, ibu kota negara, misalnya, penutup wajah tidak lagi wajib.
“Ini di satu sisi menunjukkan bahwa situasinya telah membaik secara dramatis, tetapi di sisi lain bisa menjadi pedang bermata dua karena virusnya belum hilang,” jelasnya.
“Kami belum punya vaksin yang efektif saat ini, dan jika orang-orang lengah, gelombang kedua bisa menjadi bencana besar.”
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), China akan menjadi satu-satunya ekonomi besar dunia yang mencatat pertumbuhan positif tahun ini, dengan ekspansi 1,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB) — masih jauh lebih kecil dari rata-rata 6% di enam tahun sebelumnya.
Meskipun industri pariwisatanya tampak telah menemukan titik terang, sektor ekonomi lainnya dan, di atas segalanya, pendapatan populasi yang paling rentan telah mengalami pukulan telak dalam beberapa bulan terakhir.
“Pemerintah pusat berusaha mengembalikan perekonomian ke jalurnya, tetapi kaum muda di kota besar tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan bahkan tidak punya uang untuk membayar sewa lagi, sehingga banyak yang meninggalkan kota,” jelas Vivian Hu .
“Banyak orang mungkin bepergian ke seluruh China, tetapi tidak dapat disangkal bahwa bayangan virus corona masih ada,” kata Wu.
“Orang-orang berusaha mengembalikan kehidupan sehari-hari menjadi normal, tetapi itu butuh waktu dan kebenaran. Hanya saja sulit untuk mendapatkan penjelasan objektif tentang apa yang sebenarnya terjadi.”(msn)