Indovoices.com- Menyikapi iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan dinaikan oleh pemerintah, muncul pertanyaan apakah akan dinaikan tahun ini atau apakah tidak ada penyesuaian iuran lagi? Karena inflasi tetap akan jalan terus.
Pertanyaan itu menjadi wajar karena sebenarnya kita sudah bisa menilai jumlah yang berpenyakit jantung, kanker, dan lainnya. Kalau hitung-hitungnya tidak tepat, sudah pasti akan defisit terus.
Penegasan itu disampaikan Pengamat Kesehatan Budi Hidayat dalam acara Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB’9) dengan tema “Tarif Iuran BPJS” yang diselenggarakan di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta.
“Indonesia mengambil opsi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), berbeda dengan Inggris yang dalam pajak warga negaranya sudah mencakup iuran kesehatan. Sehingga, jika siapapun ada yang masuk rumah sakit, langsung dilayani,” jelas Budi.
Kondisi asuran sosial yang diterapkan pemerintah melalui BPJS Kesehatan, menurut Budi, merupakan lompatan besar buat Indonesia. Namun, dirasa belum maksimal karena belum menyentuh seluruh penduduk Indonesia.
“Kalau dulu jaminan sosial kesehatan hanya untuk PNS (pegawai negeri sipil). Tapi, saat ini seluruh pnedduk Indonesia sudah bisa dijaminkan kesehatannya. Jelas, ini akan menuai banyak manfaat. Meskipun, yang ditakuti adalah kegagalan pasar,” ulas Budi.
Maka, Budi menjelaskan, kalau ingin mencapai bisa terpenuhi seluruh penduduk Indonesia harus diwajibkan menjadi peserta BPJS. Karena kalau dilepas ke pasar, biayanya akan membesar.
“Kalau kita masih menuai masalah, ini untuk mencegah problematika kesehatan. Orang yang sehat tidak mau membeli produk asuransi, orang yang sakit akan membeli. Ini yang menjadi persoalan. Kita harus segara mewajibkan (JKN),” tegas Budi.
Isu berikutnya, menurut Budi, soal tumpang tindih. Sejak JKN hadir semua diintegrasikan. Bagaimana aturan mainnya, soal membayar iurannya. Itu yang harus segara dibenahi untuk mengendalikan biaya pelayanana kesehatan.
“Sebagai contoh, di RS Jantung, ada produk asuransi komersial. Coba dicek. Pembayarannya bisa dirembes. Tapi di sisi lain mereka juga ada BPJS. Untuk itu, tata kelola iurannya harus segara dibenahi. Ini tantangan bagi pemerintah dan pengambil kebijakan di bidang kesehatan.
“Kalau ini tidak sistemik, akan bobol juga. Kalau melihat defisit sampai Rp 23 Triliun, ini menjadi cerminan, besaran tarif iuran yang diatur oleh Peraturan Presiden tersebut tidak ada janji dengan program itu sendiri. Kalau tidak ada akumulasi tidak akan kuat mebiayai defisit tersebut,” jelas Budi.
Sehingga, lanjut Budi, kalau sudah diakumulai, akan bisa lari semua. Istilahnya, hanya akan numpang ke di BPJS Kesehatan saat sakit. Bagaimana kalau semua penduduk dijamin, mereka bayarpun di kontruksikan di peraturan presiden.
“Itu sudah bisa diestimasi sehingga angkanya bisa stabil karena jumlah biayanya sesungguhnya sudah bisa diperkitrakan. Kita harus mengejar besaran iuran karena persoalanya ada di sana. Iuran mutlak karena jika tidak akan kolaps,” pungkas Budi.
Hadir pula sebagai narasumber Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mardiasmo, Kepala Pusat Pemberdayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Kalsum Komaryani, dan Direktur Umum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Fachmi Idris. (jpp)