Indovoices.com –Masih tingginya kasus penularan virus corona di tengah masyarakat diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk membuat regulasi yang mengatur sanksi yang lebih tegas bagi pelanggar protokol kesehatan saat perhelatan pilkada.
Sanksi yang ada saat ini dinilai belum mampu memberikan efek jera kepada para pelanggar protokol kesehatan. Akibatnya, berbagai kasus pelanggaran protokol kesehatan saat kampanye pun masih terus terjadi.
Untuk itu, pemerintah diharapkan tidak menutup opsi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memungkinkan diaturnya sansk yang lebih tegas.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, penerbitan perppu harus menjadi konsekwensi atas keputusan pemerintah yang tetap ngotot menyelenggarakan pilkada serentak di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Menurut dia, ketika pemerintah berkomitmen melanjutkan tahapan pilkada, maka segala instrumen hukum yang terbaik harus disiapkan.
“Perppu itu segeralah diberikan dan sebaiknya tidak ditunda. Jadi kalau ingin kecebur, kecebur sekalian,” ungkap Titi dalam diskusi yang digelar Smart FM bertajuk ‘Tiga Kandidat Wafat, Pilkada Jalan Terus’, Sabtu (3/10/2020).
Hingga kemarin, terdapat penambahan 4.007 kasus positif baru dalam 24 jam terakhir yang dilaporkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melalui laman Covid19.go.id. Penambahan tersebut mengakibatkan angka penularan Covid-19 di Indonesia mencapai 299.506 kasus, sejak kasus pertama diumumkan tujuh bulan lalu.
Penyelenggara pemilu positif Covid-19
Di antara kasus positif yang tercatat, terdapat penyelenggara pemilu dan calon kepala daerah yang hendak berkontestasi pada pilkada serentak tahun ini.
Seperti di Kalimantan Timur, terdapat empat calon kepala daerah yang terpapar Covid-19. Dua di antaranya meninggal dunia, yaitu calon petahana pada Pilkada Kabupaten Berau Muharram dan calon wakil wali kota Bontang Adi Darma.
Sedangkan dua lainnya yang dinyatakan positif Covid-19 yaitu calon petahana pada Pilkada Kabupaten Kutai Timur, Kasmidi Bulang dan calon wakil bupati Kutai Timur Uce Prasetyo. Keempatnya terpapar virus corona saat mengikuti tahapan Pilkada 2020.
Pada 10 September lalu, KPU mencatat ada 60 calon kepala daerah yang dinyatakan positif Covid-19, yang tersebar di 21 provinsi dari 32 provinsi yang menyelenggarakan pilkada serentak mendatang.
Sementara itu, di tingkat penyelenggara pemilu, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Petalolo sebelumnya juga sempat dinyatakan positif Covid-19 pada 7 Juni.
Kemudian, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinyatakan positif Covid-19 yaitu, Arief Budiman, Pramono Ubaid Tanthowi serta Evi Novida Ginting. Menyusul setelah itu, Ketua KPU Sulawesi Selatan Faisal Amir yang juga dinyatakan positif Covid-19, usai kontak dekat dengan Arief.
Sebelum itu, Ketua Bawaslu Abhan mengumumkan terdapat 96 pengawas pemilu ad hoc di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang dinyatakan positif Covid-19. Mereka terpapar setelah mengawasi kegiatan pencocokan dan penelitian saat pemutakhiran data pemilih Pilkada 2020.
Sanksi lembek
Hingga kini, KPU sudah tiga kali merevisi aturan pilkada tentang protokol kesehatan dalam penyelenggaraan tahapan pilkada.
Persoalannya, regulasi yang ada masih sangat lembek. Sehingga berpotensi terjadinya terulangnya pelanggaran protokol kesehatan, baik oleh pasangan calon kepala daerah maupun simpatisannya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menuturkan, di dalam aturan baru yakni PKPU Nomor 13/2020, sanksi yang dapat dikenakan bagi para pelanggar protokol kesehatan hanya sanksi tertulis, pembubaran, dan pengurangan massa kampanye selama tiga hari.
“Aturan-aturan yang dibuat saya kira tanggung ya, PKPU Nomor 13/2020 itu memang sudah menyediakan sanksi bagi setiap pelanggar protokol kesehatan pada tahapan pilkada, tapi kemudian sanksi-sanksi itu sebegitu ringannya,” ucapnya.
Pada kenyataannya, ia mengatakan, penegakan aturan terhadap para pelanggar protokol kesehatan kurang maksimal di lapangan, lantara koordinasi antara penyelenggara pemilu dan kepolisian tidak berjalan baik. Hal itu yang kemudian berpotensi mengakibatkan pelanggaran dapat terus terjadi.
Lucius pun mendorong agar pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu dapat menerbitkan perppu yang mengatur sanksi yang lebih kokoh.
Sementara itu, menurut Titi, tidak diaturnya sanksi tegas di dalam PKPU Nomor 13/2020 disebabkan oleh tidak adanya sanksi tegas yang diatur di dalam Undang-Undang Pilkada saat ini.
Karena itu, penting bagi pemerintah untuk menerbitkan perppu yang mengatur sanksi yang lebih tegas, jika memang penyelenggaraan Pilkada 2020 tak perlu ditunda hingga pandemi Covid-19 benar-benar berakhir.
“Kita siapkan seluruh regulasi atau aturan main yang bisa memfasilitasi kompetisi di tengah Covid-19 dengan protokol kesehatan yang ajeg, serta dilengkapi dengan aturan sanksi yang bisa memberi efek jera bagi pelanggaran yang terjadi,” ucapnya.
Pilkada 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Hari pemungutan suara Pilkada rencananya dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.(msn)