Indovoices.com- Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Tanah Air berpotensi bangkit kembali di tengah ketegangan perang dagang dua negara raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China. Peluang bangkitnya industri TPT dalam negeri seiring ditandatanganinya aturan perlindungan (safeguard).
Aturan tersebut, akan diterapkan dengan mengenakan bea masuk pada produk tekstil yang berasal dari luar negeri. Tujuannya untuk menjadi benteng pertahanan dari serbuan impor produk tekstil sehingga dinilai dapat melindungi industri nasional.
“Safeguard-nya sudah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan. Jadi, dengan aturan tersebut akan ada beberapa komponen industri tekstil yang akan diberi safeguard,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta.
Menperin Agus mengungkapkan, dengan ditandatanganinya aturan tersebut, diharapkan bisa terus mendongkrak pertumbuhan industri TPT yang menjadi salah satu sektor prioritas sesuai dalam peta jalan Making Indonesia 4.0. “Regulasi itu akan langsung efektif sejak diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan, ungkapnya.
Untuk memastikan safeguard berjalan maksimal dilibatkan juga Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan. Dalam hal ini, Bea Cukai bertugas mengawasi masuknya barang-barang impor TPT, khususnya produk yang tercatat dalam safeguard. “Nanti bea cukai betul-betul bekerja sesuai dengan apa yang ada di aturan-aturannya itu,” terangnya.
Dengan adanya aturan safeguard, Menperin optimistis, industri TPT di Tanah Air akan semakin tumbuh dan terus memberikan kontribusi yang signfikan bagi perekonomian nasional. Pertumbuhan industri TPT pada tahun 2019 diproyeksi mencapai 20%.
Menurut Agus, aturan safeguard juga merupakan bagian dari langkah substitusi impor, yakni kebijakan perdagangan dan ekonomi yang mendukung penggantian barang impor dengan barang produksi dalam negeri.
“Jadi untuk meningkatkan industri TPT, memang banyak hal yang kami dorong. Misalnya keberadaan bahan baku untuk industri-industrinya, termasuk bagaimana kita mencegah adanya current account deficit dengan cara kita mencari atau mendorong percepatan tumbuhnya industri substitusi dari impor,” tuturnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menambahkan, regulasi safeguard merupakan bagian dari harmonisasi kebijakan yang dilatarbekalangi tingginya impor produk tekstil yang membajiri Tanah Air. Dan itu impornya di tengah, jadi antara hulu, kemudian di tengah lalu ke hilir,” ujar Airlangga yang sebelumnya menjabat sebagai Menperin.
Airlangga menegaskan, safeguard memang diperlukan di tengah perang dagang yang tengah memanas antara Amerika Serikat dan China. Sebab, akibat ketidakjelasan arah perang dagang tersebut, produk China banyak yang menyasar ke pasar lain terutama Indonesia.
“Apalagi dengan adanya perang dagang ini, China mencari pasar. Sekarang pasar paling besar dan dekat, serta menjanjikan adalah Indonesia. Jadi ini harmonisasi tarif dari hulu sampai ke hilir. Semua ini kami koordinasikan dan dibahas antar kementerian, seperti Menteri Perindustrian dan Menteri Keuangan juga,” tegasnya.
Langkah strategis
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam mengatakan, pihaknya memproyeksi nilai ekspor produk TPT nasional pada tahun 2024 akan menembus hingga USD24 miliar. Adapun beberapa langkah strategis yang perlu dijalankan.
Misalnya, diperlukan harga gas industri yang kompetitif. “Kenaikan harga gas akan membuat industri semakin berat,” ujar Khayam.
Dia juga menyampaikan, dibutuhkan lahan relokasi untuk industri TPT di kawasan aliran Sungai Citarum, Jawa Barat. Hal ini terkait dengan isu pengelolaan limbah di wilayah tersebut. Menurut Khayam, keberadaan pelaku industri TPT di sana dibutuhkan untuk mendukung ekspor dan menekan impor TPT yang masuk khususnya untuk produk midstream.
Lebih lanjut, dibutuhkan investasi dan peningkatan kapasitas untuk industri TPT nasional. Ini karena kontribusi pendapatan, potensi ekspor, dan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Karena itu, harus dikembangkan teknologi industri 4.0 dalam upaya peningkatan produktivitas lebih efisien.
“Peranan industri permesinan domestik sangat berdampak besar terhadap industri TPT nasional. Jadi, kalau ada mesin yang dibuat di dalam negeri, maka otomatis biaya produksi dan sebagainya akan lebih murah,” paprnya.
Khayam menyatakan, pihaknya akan kembali mengadakan bantuan restrukturisasi mesin, khususnya bagi industri antara TPT. Restrukturisasi mesin ini dinilai penting dilakukan lantaran pergeseran preferensi konsumen semakin cepat. Selain itu, tren personalisasi busana akibat tumbuhnya sekolah busana maupun industri kecil menengah juga menjadi lebih cepat.
Khayam optimistis penghidupan kembali program restrukturisasi permesinan akan menggenjot investasi ke industri antara TPT, khususnya industri finishing kain. “Kami uga akan memperbaiki ekosistem industri antara TPT,” imbuhnya.
Selain itu, industri TPT harus meningkatkan promosi agar dapat memperdalam tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Khayam menyampaikan pihaknya akan mengajukan skema yang dapat memudahkan penggunaan bahan baku domestik untuk kebutuhan ekspor. Menurutnya, skema yang disiapkan akan serupa dengan skema kemudahan impor tujuan ekspor (KITE).
Kemenperin mencatat, kinerja ekspor industri TPT nasional dalam tiga tahun terakhir terus menanjak. Pada tahun 2016 berada di angka USD11,87 miliar, kemudian di tahun 2017 menyentuh USD12,59 miliar dengan surplus USD5 miliar. Tren positif ini berlanjut sampai tahun 2018 dengan nilai ekspor sebesar USD13,27 miliar. Pada tahun 2019, Kemenperin menargetkan ekspornya mencapai USD15 miliar.
Sementara itu, nilai impor industri TPT sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai USD4,07 miliar atau turun dibanding periode yang sama tahun 2018 sekitar USD4,16 miliar. Sedangkan, pada semester I-2019, nilai ekspor dari industri TPT nasional telah menembus USD6,45 miliar atau lebih tinggi dibanding impornya. (jpp)