Indovoices.com –Fadli Zon dan Fahri Hamzah dikenal sebagai politisi yang keras mengkritisi pemerintah, khususnya di era kepemimpinan Joko Widodo.
Keduanya dianggap selalu kompak terlebih oleh kalangan “kampret” sehingga mendapat julukan Duo F.
Terkait hal ini, Fadli Zon dan Fahri Hamzah blak-blakan di kanal YouTube Karni Ilyas Club, membongkar berbagai macam hal yang jarang diketahui publik.
Karni Ilyas memulai obrolan yang tayang Jumat (20/11/2020) itu dengan mempertanyakan kekompakan keduanya. Sebab, setelah pilpres 2019 usai, Fadli dan Fahri dinilai bertukar jalan alias berseberangan.
“Dasar dari kita berbeda itu akal, itulah yang menyebabkan kita ini susah pecah. Karena pada dasarnya kita itu berpikir,” jawab Fahri Hamzah memulai penjelasannya.
Bagi Fahri, hubungannya dengan Fadli tetap baik-baik saja terlebih mereka sudah saling kenal sejak kuliah di UI.
“Yang mudah pecah itu biasanya kalau perasaan udah masuk, dalam perbedaan itu. Nah, saya dengan Fadli, dari dulu yang banyak orang nggak tahu, kan dulu beliau mendukung Pak Prabowo sejak Pak Prabowo masih ada di timnya Pak Harto. Kita kan berada di luar, jadi di kampus sering ketemu tapi sebenarnya dalam posisi yang berbeda,” lanjutnya.
Fahri mengungkap sebuah keunikan yang terjadi pada saat Mantan Presiden Soeharto mengundurkan diri.
“Saya ditelpon oleh Pak Habibi, untuk menjadi anggota MPR. Masuklah saya jadi anggota MPR paling muda, pada usia 27, kursi yang saya duduki itu kursinya Fadli. Jadi Fadli ini adalah anggota MPR orba, saya reformasi,” kata Fahri mengenang sambil terkekeh.
Dia menambahkan, SK nya sebagai seorang anggota MPR sampai salah ketik menjadi Fadli Hamzah.
Soal Partai Gelora yang didirikan Fahri, ia merasa hal itu tidak bisa disebut sebagai alasan berpisah jalan.
“Kalau Partai Gelora ini, Fadli akan memahami kemunculan Partai Gelora, sebab kritiknya itu bukan sekadar kritik kepada satu kelompok partai, tapi kritik kepada keadaan kita secara umum,” sambung Fahri.
Fahri menguraikan ada tiga kegelisahan mengapa Partai Gelora berdiri. Pertama soal kegamangan naratif terhadap konsep bangsa Indonesia, kedua adanya problem kapasitas kolektif negara, dan yang ketiga masalah generasi kepemimpinan.
Menanggapi Fahri, Fadli menilai bahwa sebagai politisi memang harus mampu menyatukan loyalitas kepada partai dan loyalitas kepada rakyat.
“Satu sisi ada kedaulatan dari partai dengan UU yang ada, di sisi lain adalah kedaulatan rakyat. Karena kita sudah mengklaim sebagai negara demokrasi, bahkan di mana-mana ngomong sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Tetapi kita tidak ingin demokrasi kita ini disabotase oleh segelintir elit,” timpal Fadli.
Oleh sebab itulah, mengaku mengambil kompromi dengan memasukkan nama Prabowo Subianto masuk dalam jajaran kabinet Joko Widodo.
“Saya yang mengusulkan Pak Prabowo menjadi menhan, bahkan saya kira yang pertama saya mengusulkan waktu itu,” ujar Fadli.
Menurut Fadli, Prabowo bersedia menjadi menteri, masuk dalam kepemimpinan pesaingnya saat Pilpres 2019 lalu, adalah untuk menghindari perpecahan.
“Harus Pak Prabowo dan yang paling pas adalah menhan,” tegas Fadli Zon.(msn)