Indovoices.com-Menginjakkan kaki di Tanah Rencong kuranglah lengkap tanpa berwisata edukasi ke sasana budaya Rumah Cut Nyak Dhien. Rumah pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang berlokasi di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar ini menyimpan sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.
Meskipun disebut Rumah Cut Nyak Dhien, sesungguhnya rumah ini merupakan replika dari bangunan aslinya yang dibakar sampai habis oleh penjajah Belanda pada tahun 1896. Belanda mengetahui bahwa Teuku Umar hanya berpura-pura bekerja sama, karena itu mereka kemudian membakar rumah tersebut. Satu-satunya yang tersisa saat itu hanyalah sumur setinggi dua meter yang terletak di sisi kiri rumah.
Rumah Cut Nyak Dhien dibangun kembali sesuai bentuk aslinya pada tahun 1981 dengan maksud agar dapat menjadi tujuan wisata edukasi dan belajar sejarah. Rumah tersebut kemudian diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan pada tahun 1987.
Rumah Cut Nyak Dhien merupakan rumah panggung khas Aceh yang beratap rumbia dan disangga oleh 65 tiang kayu ulin, atau dalam bahasa Aceh disebut kayu semantok. Kayu ulin yang dipakai pun merupakan kayu ulin merah yang berkualitas tinggi. Kokohnya bangunan ini teruji saat Aceh diguncang gempa dan diterjang tsunami pada tahun 2004. Tidak ada bagian bangunan yang rusak pada saat itu, bahkan rumah tersebut menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat sekitar.
Untuk memasuki rumah, pengunjung harus menaiki anak tangga yang berada di sisi kanan bangunan. Kemudian pengunjung diajak masuk ke sebuah ruangan lapang yang berfungsi sebagai ruangan berkumpul untuk menyusun strategi melawan Belanda pada masa lampau. Di ruangan ini berjajar foto-foto perjuangan rakyat Aceh. Jika diperhatikan dengan saksama, pada salah satu foto terdapat wajah asli Cut Nyak Dhien saat berada di pengasingan di Sumedang, Jawa Barat.
Salah satu hal yang menarik dari Rumah Cut Nyak Dhien adalah letak dua kamar dayang-dayang yang justru berada di sisi depan rumah. Kamar Cut Nyak Dhien sendiri letaknya berada di sisi belakang. Ini adalah bagian dari strategi perlawanan, agar sewaktu-waktu Belanda menyerang rumah ini, mereka terkecoh dengan mendatangi terlebih dahulu kamar yang berada di depan, sehingga Cut Nyak Dhien masih memiliki waktu untuk meloloskan diri dan menyiapkan perlawanan.
Di ruangan yang lain, kita dapat melihat koleksi senjata tradisional Aceh yang digunakan untuk berperang dan sumur sebagai satu-satunya peninggalan asli. Sumur sengaja dibangun setinggi dua meter pada saat itu sebagai langkah pencegahan agar Belanda tidak dapat meracuni air di dalamnya.
Rumah Cut Nyak Dhien dibuka setiap hari Senin sampai dengan Minggu, mulai pukul sembilan pagi sampai dengan pukul lima sore. Asiah Yusuf, salah seorang juru pelihara Rumah Cut Nyak Dhien yang sudah bertugas sejak tahun 2006 mengatakan, wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung setiap harinya berjumlah sekitar lima puluh sampai seratus orang. Jumlah ini dapat bertambah dua kali lipat pada akhir pekan dan libur hari besar. Wisatawan Malaysia mendominasi kunjungan yang berasal dari luar negeri. “Mereka suka beribadah di Masjid Raya (Baiturrahman) lalu berkunjung ke sini,” tutur Asiah.
Meskipun usia bangunan sudah hampir empat puluh tahun, namun Rumah Cut Nyak Dhien masih dalam kondisi sangat terawat. Salah satu alasannya, menurut Asiah, adalah karena para petugas merawat rumah tersebut layaknya rumah sendiri. “Lima belas hari sekali gotong royong, cuci sprei semua, kita pel. Kita rawat kayak rumah sendirilah. Kalau nggak kita rawat hancur, sayang,” ungkap Asiah.
Dengan mengunjungi Rumah Cut Nyak Dhien, wisatawan tidak sekadar diajak untuk mengingat kembali sejarah perjuangan rakyat Aceh, tetapi juga mendalami tekad, semangat, dan strategi Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar dalam melawan penjajahan Belanda di bumi Serambi Mekkah. (kemendikbud)