Indovoices.com – Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara menyatakan kerja sama yang kuat dan upaya kolaborasi menjadi modal utama kesuksesan dalam mewujudkan media yang bebas dan independen sebagai komponen penting dari demokrasi.
Ketika menyampaikan pernyataan sikap Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Global tentang Kebebasan Media 2019 di Gedung Printworks London, Menkominfo menyebut tantangan terbesar media secara global adalah mempertahankan kepercayaan publik di tengah dinamika media online dan media sosial. Bahkan ia menegaskan hal yang menjadi isu besar berkaitan dengan model bisnis media.
“Akurasi, kedalaman, kemandirian, keseimbangan, masih merupakan kekuatan jual media massa dalam jangka panjang. Sayangnya, apa yang sering terjadi sekarang adalah bahwa pers secara statistically seperti media sosial, baik dalam gaya presentasi kurangnya akurasi,” papar Rudiantara pada Pernyataan Nasional dan Regional dalam rangkaian Konferensi Global untuk Kebebasan Media di London, Kamis (11/07/2019).
Menurut Menteri Kominfo kebebasan media dan perlindungan insan pers di Indonesia tidak menjadi isu besar. Namun hal yang perlu menjadi perhatian adalah akurasi sajian media dan model bisnis ke depan.
“Di Indonesia itu yang namanya freedom of expression di media itu tidak menjadi isu besar. Justru yang menjadi isu besar itu adalah model bisnis media ke depan. Karena dengan katakanlah adanya media sosial, jangan sampai media mainstream itu mengikuti langgam dari media sosial,” jelasnya.
Menteri Kominfo menyebutkan di negara lain mungkin kebebasan media masih menjadi isu utama, tapi di Indonesia tidak demikian. “Kalau selama dua hari ini bisa rasakan freedom of speech masih menjadi isu itama di beberapa negara di dunia. Indonesia menjadi contoh untuk penerapan human rights. Saya selalu sampaikan tidak ada human right without justice, tidak ada hak asasi manusia tanpa keadilan, tidak boleh keadilan itu dikuasai oleh segelintir kelompok,” paparnya.
Kembangkan Inovasi, Menangkan Kepercayaan Publik
Mengutip hasil survei Nielsen Consumer & Media 2017, Menteri Rudiantara menyebutkan berita andal dan berita utama yang menarik adalah dua hal yang membuat pembaca tetap memilih koran. Sedangkan untuk majalah atau tabloid, audiens menantikan artikel seperti kisah nyata dan informasi mode. “Artinya, penonton media masih merindukan kehadiran sensasi yang agak kuno,” ujar Rudiantara.
Menurut Rudiantara, media mainstream harus bisa memenangkan kepercayaan publik dengan tetap menjaga akurasi sajian, bukan sekadar kecepatan sebagaimana media sosial. “Media sosial, yang penting kecepatan tidak ada akurasi. Sebetulnya pernah terjadi beberapa waktu lalu dimana televisi itu mengutip dari akun media sosial seseroang, Tapi yang di-posting itu tidak benar. Akhirnya menjadi vicious circle,” tuturnya.
Menkominfo menyatakan media mainstream dapat memenangkan kepercayaan publik dengan membuat model bisnis baru dan membedakan konten dengan media sosial. “Media massa, terutama media cetak, harus kembali untuk memenangkan kepercayaan publik, dan membedakan diri dengan media sosial yang lebih bebas karena tidak diwajibkan untuk memenuhi aturan pers,” ungkapnya.
Sementara dalam bisnis media massa memang terganggu dengan kehadiran media sosial. Oleh karena itu, menurut Rudiantara, bisnis media massa juga harus mencari model bisnis. Bisa dalam bentuk sebuah startup yang dimulai dari masalah penurunan sirkulasi media cetak, bisnis yang menyangkut kehidupan banyak orang merupakan masalah nyata yang bisa dilihat.
“Belum banyak solusi yang muncul dari masalah penurunan sirkulasi media cetak, meskipun bisnis ini menyangkut kehidupan banyak orang dan menjadi masalah yang terlihat di depan mata. Tidak ada yang mampu mengangkat tantangan menjadi peluang yang dicontohkan oleh startup dan unicorn yang mampu mengatasi masalah sosial,” ujarnya.
Saat ini, Menteri Kominfo melihat kecenderungan umum jatuhnya bisnis media cetak dalam beberapa tahun terakhir akhirnya bertransformasi dan pindah ke online. “Sungguh luar biasa jika bisnis media cetak dapat berinovasi untuk mengambil gaya startup dalam menghadapi gangguan bisnis media,” ujarnya.
Kolaborasi Jadi Solusi
Bicara mengenai kondisi di Indonesia, tantangan terbesar bukan mengatur media mainstream, melainkan bagaimana mengelola media sosial dan platform online. “Tantangan kita me-manage media online, media sosial, video file sharing dan instant messaging dibandingkan media mainstream sendiri,” tuturnya.
Namun demikian, Menteri Rudiantara menyebutkan ada nilai yang dianut masyarakat Indonesia dapat menjadi solusi dalam menyelesaikan tantangan itu. “Kita punya value yang tidak semua negara ada, ya gotong royong. Itu merupakan refleksi pendekatan ekosistem. Kolaborasi, kerja sama pendekatan ekosistem, pendekatan stakeholders harus tetap didorong. Semua harus berkontribusi dan diajak bagaimana menyelesaikan permasalahan,” ungkapnya.
Pada akhir pernyataan sikap, Menteri Rudiantara menekankan mengenai antisipasi atas gangguan digital dengan cara menyiapkan sumber daya manusia inovatif. Mengutip Clayton M Christensen, ia menyebutkan hal yang paling penting bukanlah teknologi. “Clyaton pencetus teori gangguan menyebut teknologi yang mengganggu harus disebut sebagai tantangan pemasaran, bukan satu teknologi. Yang paling penting adalah sumber daya manusia dan kompetensi yang dapat menciptakan inovasi pemasaran baru,” tandas Rudiantara.
Konferensi yang membahas isu perlindungan jurnalis dan media di London yang diikuti 1.000 peserta, termasuk menteri dan pejabat pemerintah, komunitas diplomatik, lembaga internasional, jurnalis, masyarakat sipil, dan akademisi. Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt dan Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland menjadi tuan rumah konferensi.(jpp