Indovoices.com-Kementerian Perindustrian terus mendorong hilirisasi industri agar tetap berjalan dengan baik, karena selama ini aktivitas tersebut dinilai mampu memberikan dampak yang luas bagi perekonomian nasional. Efek positif itu antara lain adanya penerimaan devisa dari ekspor dan penyerapan tenaga kerja.
“Kami akan senantiasa mengoptimalkan terhadap peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, supaya bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya di Indonesia dan bisa dinikmati oleh masyarakat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita seusai menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI dengan agenda pembahasan tentang RUU Minerba di Jakarta.
Menurut Menperin, guna memacu hilirisasi industri, perlu adanya aturan mengenai pemberian izin yang berkaitan dengan pertambangan dan proses produksi. “Kemenperin dan Kementerian ESDM sudah sepakat bahwa kalau ada investor atau perusahaan yang berdiri sendiri, kemudian melakukan kegiatan smelting, maka dia akan menggunakan Izin Usaha Industri (IUI),” jelasnya.
Sedangkan, bagi perusahaan smelter yang lokasinya sudah terintegrasi dengan lahan pertambangannya, menggunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP). “Oleh karena itu, kami sangat mendukung upaya dari revisi UU minerba ini. Sebab, akan mengakselerasi langkah hilirisasi itu sendiri,” tegasnya.
Dalam hasil raker hari ini, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Ketua dan anggota Panja terdiri atas 26 orang perwakilan DPR dan 60 orang perwakilan pemerintah.
Panja tersebut, nantinya membahas mengenai Daftar Isian Masalah (DIM) dari RUU Minerba yang sudah dibuat oleh pemerintah. DPR menargetkan kerja Panja ini selesai pada Agustus tahun 2020.
Sebelumnya, Agus menegaskan, hilirisasi perlu ditopang dengan penggunaan teknologi baru, termasuk penerapan era industri 4.0 untuk menggenjot produktivitasnya secara lebih efisien. “Kita semua punya pandangan yang sama mengenai pentingnya inovasi. Pandangan hilirisasi harus didorong di Indonesia. Ini menjadi salah satu program utama dari pemerintah,” tuturnya.
Lebih lanjut, dengan tekad pemerintah tersebut, sejumlah industri besar skala global sudah ada yang berminat masuk dan membuka kegiatan produksi serta risetnya di Indonesia. “Sejalan hal itu, pemerintah sedang mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kegiatan litbang untuk inovasi. Itu menjadi keunggulan komparatif Indonesia dibanding negara lain,” imbuhnya.
Kemenperin mencatat, hilirisasi industri telah berjalan baik di berbagai sektor, misalnya di sektor pertambangan. Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah menjadi salah satu contohnya, yang saat ini sudah berhasil melakukan hilirisasi terhadap nickel ore menjadi stainless steel.
Sebagai gambaran, harga jual nickel ore sekitar USD40-60, sedangkan ketika sudah menjadi stainless steel harganya bisa di atas USD2000. Sementara itu, nilai ekspor Kawasan Industri Morowali sudah mampu menembus USD4 miliar, baik itu pengapalan produk hot rolled coil maupun cold rolled coil ke Amerika Serikat dan China.
Kontribusi Kawasan Industri Morowali juga terlihat dari capaian investasi yang terus menunjukkan peningkatan, dari tahun 2017 sebesar USD3,4 miliar menjadi USD5 miliar sepanjang tahun 2018. Jumlah penyerapan tenaga kerjanya pun terbilang sangat besar, yaitu hingga 30 ribu orang.
Harga energi kompetitif
Pada kesempatan yang sama, Menperin Agus menyampaikan, pihaknya fokus untuk meningkatkan daya saing industri di dalam negeri. Salah satu langkah strategis yang diperlukan adalah ketersediaan energi dengan harga yang kompetitif.
“Kita mesti lihat beberapa komponen utama biaya produksi yang dikeluarkan sektor industri, antara lain dari bahan baku dan energi. Nah, dari hasil rapat terbatas kabinet, telah diputuskan bahwa harga gas untuk industri harus di bawah USD6 per MMBTU,” ungkapnya.
Guna mengakselerasi langkah tersebut, Kemenperin sudah intensif berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN. “Dalam waktu dekat akan diumumkan terkait harga gas industri. Sudah ada skema-skemanya,” imbuh Agus.
Bahkan, Menperin telah mengusulkan untuk memperluas sektor industri yang layak mendapatkan harga gas kompetitif. “Sebelumnya, yang sudah masuk adalah industri sarung tangan karet. Kami nanti ingin revisi lagi, jadi tidak hanya industri sarung tangannya saja, tetapi juga industri karet itu sendiri. Ada beberapa penambahan sektor lain, kami sedang pelajari,” jelasnya.
Menurut Agus, selain gas, yang juga diperlukan industri saat ini adalah harga listrik yang kompetitif. “Sebenarnya industri tidak terlalu banyak minta diturunkan, dan tidak sampai sepanjang hari. Artinya, pada jam-jam tertentu saja yang bisa mendapatkan diskon, seperti mulai pukul 22.00 hingga 06.00,” sebutnya.
Namun untuk kepastian berapa besar diskon yang akan diberikan, menurutnya masih perlu dibicarakan lebih lanjut dengan kementerian terkait. “Yang terpenting prinsipnya kebijakan ini sudah disetujui,” ungkapnya.
Agus pun memaparkan, paling tidak tarif listrik industri selayaknya turun sekitar 15%. Jika, misalnya saat ini industri membayar listrik sekitar 7,1 sen per kWh, dengan adanya diskon diharapkan menjadi 6 sen per kWh.
Melalui penerapan harga energi yang kompetitif, Agus optimistis, target pertumbuhan ekonomi nasional serta kinerja industri manufaktur Tanah Air akan terus membaik, meskipun di tengah tekanan kondisi ekonomi global.
“Sebelumnya, kami menyampaikan tujuh isu di sektor industri yang harus ditindaklanjuti, apabila isu harga energi untuk industri bisa diselesaikan, kami yakin pertumbuhan sektor industri bisa terbang tinggi,” ungkapnya.
Selain itu, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sektor industri pengolahan nonmigas masih menjadi motor penggerak utama bagi perekonomian nasional. “Terlebih, aktivitas industri membawa efek ganda yang luas bagi peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penerimaan devisa dari ekspor,” ucapnya. (kemenperin)