Kalau dipikir lebih dalam, kegiatan Reuni Alumni 212 ini, tidak ubahnya seperti kegiatan sebuah gang anak muda yang berkedok agama. Segelintir pemikir dari penggerak aksi 212, berusaha untuk tetap ekses di Indonesia.
Memakai istilah “Alumni” hanya untuk meninggikan diri. Apa bedanya tingkah orang-orang yang bangga menyebut dirinya sebagai Alumni 212 dengan anak balita yang bangga karena punya sebuah kartu mainan yang menyerupai KTP atau kartu kredit dimana nama dan foto mereka tertera didalamnya? Sama! Persis sama!
Sekelompok pemuda pengangguran yang tidak punya jati diri, tiba-tiba memiliki jati diri sebagai Alumni 212, si pembela agama! Keren bener yah?! Sebelum ada peristiwa unjuk rasa 212, para pemuda pengangguran ini, kalau ditanya, “Kamu ini apa?”, jawabnya paling banter, “Saya pengangguran”, yang diucapkan dengan kepala menunduk dan mata yang tidak berani memandang mata si lawan bicara. Status pengangguran itu, kita tahu, adalah satu status yang sangat memalukan di negeri ini. Mau dia sarjana atau anak orang kaya yang bodoh dan malas , ketika menyandang gelar “pengangguran”, harga jual dirinya jatuh seketika! Siapa yang mau pacaran sama laki-laki pengangguran?
Nah ketika mereka merasa punya status sebagai Alumni 212, saya yakin pasti ada perempuan atau gadis yang jadi pacar mereka. Apalagi ada bonus dikasih seragam putih-putih dengan atribut atau bagde warna hijau yang bertuliskan lafat Al-Quran. Nah, para pengangguran ini kemudian mendapatkan tawaran untuk datang ke Jakarta berkumpul dengan 7 juta orang lain, dimana ongkos dan makan dijamin, pada tanggal 2 Desember 2016, kemudian setelah acara selesai mereka pulang ke kampung halaman dan mulai bilang, “Saya Alumnus 212!”. Bilangnya pakai acara tepuk dada lagi.
Ah, bisa saja mereka bukan pengangguran! Ya memang tidak semua yang datang di tanggal 2 Desember 2016 itu pengangguran, tapi tanggal 2 Desember 2016 itu kan hari Jum’at. Hanya orang Jakarta dan sekitarnya yang kalau mereka bekerja, mereka bisa cuti satu hari untuk berunjuk rasa. Tapi yang diluar Jakarta, minimal akan hadir sehari sebelumnya. Apalagi kalau mereka harus juga bekerja di hari sabtu, cutinya harus 3 hari.
Bisa saja yang 7 juta kemaren itu yang 58%? Masa sih? Ya bisa, Jumlah pemilih di Jakarta kan tidak sampai 11 juta? Kalau jumlah 7 juta dianggap semua orang jakarta yang ada di dalam 58%, matematika anda nol besar. 7 juta dari 11 juta itu 63%. Mungkin perhitungan 7 juta termasuh balita yang bangga dengan kartu identitasnya. Yang pasti, ke 7 juta ini datang ke Jakarta untuk sekolah dan lulus dalam sehari, makanya disebut Alumni 212!
Saya berpikir lagi, apa yang ingin mereka capai dengan mengadakan reuni ditanggal yang sama dengan kejadian setahun lalu? Saya rasa, kita sekarang ini kan menjelang Pilakda serentak 2018 dan Pilpres 2019, mereka ibarat sedang menebar pesona, menjajakan dagangannya pada para mengguna jasa unjuk rasa, seolah mengatakan bahwa tanpa kucuran dana saja jumlah mereka sudah lumayan banyak, apalagi kalau ada kucuran dana, lebih dari 7 juta juga bisa!
Kira-kira kalau demo 10 juta bisa menggoyang Istana kah? Tapi mau pakai dalih apa yah?
Lalu kita silent majority akan terus diam? Anyway, semoga pikiran rakyat Indonesia mulai terbuka bahwa hidup dan kehidupan ini tidak bisa diperjuangkan dengan hanya menyebarkan fitnahan, hujatan dan sindiran. Seharusnya semua orang yang orasi disana bisa lebih menfokuskan diri dengan lebih mengungkapkan apa visi dan misi mereka untuk negara ini. Ceritakan hal-hal yang nyata yang bisa dilihat oleh mata manusia dan dicerna oleh pikiran. Jangan melulu membicarakan akhirat atau berjanji hal-hal yang tidak pasti. Apalagi pakai acara menawarkan kapling di surga. Akhirat itu tidak sama dengan Meikarta!!