Indovoices.com-Di akhir kuliah saya tahun 1997, saya sudah aktif menulis. Ketika itu rektor Universitas Riau (UNRI) Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc yang sangat populer karena kepintarannya menolak dicalonkan kembali menjadi rektor. Padahal, beliau sangat menonjol keilmuwan dan manajemennya ketika itu. Guru besar Ilmu Kelautan itu mengatakan, ” umur saya sudah lebih 60 tahun, dirjen dikti saja belum 50 tahun, malulah. Masa pimpinan saya dibawah umur saya?”.
Ketika kampanye legislatif tahun lalu, saya dukung Martin Manurung agar menjadi anggota DPR. Pertimbangan saya adalah Martin Manurung wawasannya luas, cerdas, rendah hati, merakyat, energik dan di Senayan mampu berkompetisi dengan anggota DPR lain dari seluruh Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan kawasan Danau Toba. Kini, Martin Manurung menjadi Wakil Ketua Komisi VI DPR RI. Ketika sudah terpilih, semangatnya Martin Manurung melayani rakyat lebih hebat dibandingkan ketika kampanye. Membaca berita berita kegiatanya saja saya lelah. Bagaimana lelahnya dia melakoninya. Selain kapabilitas dan akseptabilitasnya tinggi, fisiknya juga luar biasa baik.
Kini, kita diperhadapkan kepada Pilkada. Kriteria apa yang kita munculkan agar muncul pemimpin yang mampu melayani rakyat. Selain pintar, berani, rendah hati, syarat yang dibutuhkan adalah fisik. Daerah kawasan Danau Toba yang luas butuh pemimpin yang fisiknya bagus. Realitanya sekarang, selain fisiknya sudah tidak memadai, sikap berkuasanya yang menonjol.
Empat tahun terakhir, minimal 2 minggu dalam sebulan saya mengelilingi Danau Toba. Aktivis Martin Sirait mengatakan, ” kalau memahami Toba harus memahami teori-teori di buku teks dan memahami realita lapangan”. Saya mencoba kombinasikan teori-teori di buku teks dan menjalani secara rutin Kawasan Danau Toba.
Ketika saya berkeliling, apa sesungguhnya persoalan kawasan Danau Toba?. Persoalan utama adalah tidak ada roh memimpin. Saya melihat pejabat itu memanfaatkan jabatanya untuk mengisi kantong sendiri. Tidak ada gairah untuk memimpin rakyat agar kebutuhan rakyat terpenuhi.
Saya tidak melihat ada produk roh kepemimpinan. Kepemimpinan tanpa gairah. Dengan kata lain, hampir semua kegiatan orientasi proyek. Itulah masalah utama di kawasan Danau Toba, khususnya Tobasa.
Di Samosir ada roh kepemimpinan yang dipimpin oleh dinas pendidikan yaitu Rikardo Hutajulu. Rikardo Hutajulu selalu berinovasi agar anak-anak Samosir berprestasi. Rikardo melakukan daya upaya untuk pendidikan. Di Tobasa, dinas pendidikan melempam. Di Tobasa ada Tumpal Panjaitan, Jait yang bergairah, itupun sudah dipindahkan ke dinsos. Dinas pendidikan Tobasa nyaris tanpa gairah.
Saya berjalan menyusuri kampung-kampung di siang hari. Saya diskusi di sore hari. Saya membaca buku indikator indikator keberlanjutan pembangunan di malam hari. Sedih dan prihatin.
Mungkin saya subjektif, tapi kan ada buku teks sebagai pengontrol subjektivitas itu. Tidak ada yang hendak diukur. Lalu, bicara 2 periode. Huh. Maaflah iya.
Keputusan ada di tangan rakyat, saya hanya menceritakan tentang saran Martin Sirait bahwa memahami Toba harus kombinasikan buku teks dengan melihat realita. Saya mau katakan, “saya tidak melihat indikasi pembangunan di kawasan Danau Toba, khususnya Tobasa”.
Memahami kondisi ini, dibutuhkan pemimpin muda yang cerdas, kreatif, handal, berani dan energik. Terlalu jauh kita tertinggal. Hentikan debat kusir, bicaralah secara transparan. Era ini era digital yang sejatinya pembangunan secepat kilat. Jika kita terus bertahan dengan pola seperti ini, kita akan tergilas.
#gurmanpunyacerita