Indovoices.com-pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji menyatakan pemerintah menjalankan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran BPJS. “Keputusan ini memang bersifat final dan mengikat,” kata saat dihubungi di Jakarta.
Indriyanto mengatakan putusan MA ini memiliki sifat yang sama dengan putusan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya tidak mengenal bukti baru untuk digunakan dalam upaya hukum lainnya seperti banding. “Ini sesuai dengan prinsip kepastian hukum,” kata dia.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Keputusan ini terjadi setelah MA menerima dan mengabulkan sebagian dari judicial review yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2 Perpres 75 Tahun 2019.
Sehingga, kenaikan iuran sejak 1 Januari 2020 tidak lagi berlaku. Daftar iuran yang dianulir yaitu Rp 42 ribu untuk peserta Kelas III, Rp 110 ribu untuk Kelas II, dan Rp 160 ribu untuk Kelas IV. Sehingga, iuran yang berlaku kembali merujuk pada aturan sebelumnya yaitu Perpres 82 Tahun 2018. Rincian iuran lama tersebut yaitu Rp 25.500 untuk Kelas III, Rp 51 ribu untuk Kelas II, dan Rp 80 ribu untuk Kelas I.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md juga telah mengatakan putusan MA bersifat final, tanpa ada banding. “Kami ikuti saja. Pemerintah, kan, tidak boleh melawan putusan pengadilan,” kata Mahfud di kantornya, Jakarta, Senin, 9 Maret 2020.
Kini, setelah Perpres ini dianulir, pemerintah mulai mengkaji berbagai opsi agar layanan BPJS Kesehatan tetap berjalan. Sempat ada usulan agar Kementerian Keuangan menambah suntikan dana bagi BPJS. Tapi, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani belum bersedia berkomentar banyak. “Hal itu masih dipelajari,” kata dia.