Beberapa hari yang lalu, Ketua Bawaslu Abhan mendatangi Bareskrim Mabes Polri secara langsung untuk melaporkan Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia, Raja Juli Antoni dan Wasekjen Danik Eka Rahmaningtiyas. Laporan ini dilakukan pagi hari Kamis, 17 Mei 2018 di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta.
Pelaporan tersebut terkait dugaan pelanggaran tindak pidana kampanye di luar jadwal sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017.
Menurut Abhan, iklan PSI yang dipasang di media Jawa Pos pada 23 April 2018, dinyatakan telah memenuhi unsur pidana pemilu. Pemesanan iklan tersebut, menurut dia, merupakan perbuatan tindak pidana pemilu yang melanggar pasal 492 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
Soalnya, iklan tersebut masuk dalam kategori kampanye yang tertuang pada pasal 1 ayat 35 Undang-Undang Pemilu tentang definisi kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. “Kampanye PSI masuk di poin citra dirinya,” ujarnya.
Awalnya saya mengira memang benar, bila PSI melakukan pelanggaran. Malah ungkapan Grace yang mengatakan, banyak partai lain yang juga melanggar namun tidak diproses menurut saya kurang tepat. Dalam arti kita tidak bisa mencari pembenaran dari kesalahan yang dilakukan orang lain.
Namun dari beberapa berita yang saya baca dan telusuri kemudian, akhirnya saya menemukan adanya beberapa kejanggalan terhadap pelaporan tersebut.
Pertama, pada iklan tidak tercantum visi/misi partai, tidak tercantum pula program partai.
Kedua, mengenai point “citra diri peserta pemilu” yang dijeratkan Bawaslu kepada PSI. Ternyata baru dirumuskan oleh Bawaslu, pada Rabu 16 Mei 2018. Belum lagi defenisi “citra diri” yang dimaksud oleh Bawaslu hanya terbatas pada logo dan nomor urut partai?. Dan soal citra diri belum ada ketentuan pasal pidananya dalam UU Pemilu.
Anehnya setelah sehari sebelumnya memberikan defenisi “citra diri”, keesokan harinya, Kamis 17 Mei 2018, Bawaslu langsung menyatakan PSI melakukan kampanye dini, yang merupakan tindak pidana, dan melaporkan pengurus partai itu ke Bareskrim. Padahal iklan tersebut ditayangkan 23 April 2018. Apakah bisa penafsiran UU berlaku surut?. Kalau bisa, tentu akan sangat banyak partai yang terjerat oleh UU tersebut.
Ketiga, ternyata dalam penetapan kesepakatan defenisi peserta pemilu (parpol) yang dibuat dalam bentuk berita acara rapat. Ditandatangani oleh Wahyu Setiawan (komisioner KPU), M. Afifuddin (anggota Bawaslu) dan Nuning Rodiyah (anggota Komisi Penyiaran Indonesia). Yang menjadi pertanyaannya, apa hubungannya menafsirkan UU pemilu dengan KPI?. Apakah anggota KPI yang dimaksud memiliki kompetensi yang dibutuhkan?.
Keempat, Adanya desakan Bawaslu diluar kewenangannya kepada Bareskrim untuk mempercepat proses pengaduan mereka, tentu saja hal ini diprotes oleh Grace Natalie, Ketua Umum PSI.
Grace Natalie, Ketua umum PSI pun mengatakan, “Tindakan mereka (Bawaslu) yang mendesak polisi telah melampaui kewenangan.”
Sedangkan dalam kejadian lainnya, Bawaslu Jawa Barat terkesan sangat lamban menangani dugaan pelanggaran debat yang dilakukan pasangan calon gubernur Jabar Sudrajat-Ahmad Syaikhu, yang terang-terangan memanfaatkan akhir debat putaran kedua, untuk berkampanye ganti presiden.
Jadi bisa dibilang ada kontradiksi, disatu sisi Bawaslu meminta Bareskrim mempercepat memproses tuduhan kepada PSI, sementara disisi lain, proses terhadap cagub Jabar malah terkesan sengaja diperlambat.
Saya yang masyarakat umum saja heran. Ada apa dengan Bawaslu, terkesan tergesa-gesa dalam melaporkan PSI, seakan-akan ada sesuatu yang ingin dikejar?. Bersifat politis kah?, atau ada kepentingan lainnya?. Apalagi mengingat PSI selain partai baru, juga menawarkan perbedaan dalam cara berdemokrasi, tidak sama dengan cara berdemokrasi partai mainstream seperti yang kita ketahui selama ini.
Jadi saya secara pribadi, mendukung Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie yang akan melaporkan Ketua Badan Pengawas Pemilu RI, Abhan dan anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena diduga melakukan pelanggaran etik.
Atau kalau perlu, melaporkan kembali Bawaslu ke Bareskrim karena Bawaslu jelas telah mempidanakan PSI dengan pasal yang tidak terdapat di dalam UU Pemilu serta terkesan dipaksakan.
Trailer Penjelasan Grace Natalie