Indovoices.com -Ketika lulus SMA anak-anak kawasan Danau Toba pergi merantau ke seluruh nusantara dan dunia. Ketika sampai di perantauan, ada yang menjumpai keluarga. Apa sikap keluarga di perantauan?. Pernah, anak dari Duri saya fasilitasi beasiswa dari Prof.Yohanes Surya.
Ketika itu, temanku/adik di GMKI mengatakan, ada jemaatku remaja yamg sangat membutuhkannya. Saya oke kan saja. Kemudian, pendeta itu mendoakan agar baik-baik kuliah. Tiba di Jakarta, keluarga anak itu tidak setuju. Cari kerja saja dulu. Karena beasiswa itu biaya makan atau biaya hidup (living cost) tidak ada. Jadinya, anak itu tidak kuliah. Saya dan pendeta sahabat karibku itu tertunduk lesu, kesal dan prihatin.
Kembali ke sikap keluarga di perantauan. Pertama sikap profesor Midisir. Profesor Midisir memaksa harus kuliah dulu. Menyadarkan pentingnya kuliah di masa yang akan datang. Memberikan penjelasan-penjelasan berbagai macam informasi tentang kuliah dan bagaimana cara cepat lulus dan difasilitasi informasi beasiswa dan tentu membantu keuangan agar bisa menempuh pendidikan dengan baik.
Melihat keadaan ini, profesor Midisir juga membangun sekolah unggulan dan berbagai bantuan pendidikan di kampung halamannya. Profesor Midisir bekerja keras agar keluarga menjadi anak-anak hebat. Anak yang bermartabat. Syukur-syukur bisa diajak membangun kampung halaman. Kedua, bagaimana dengan rentenir?. Rentenir mengakak anak itu keliling untuk menambah jaringan. Bisa dimanfaatkan untuk partagi (debt colector). Selama satu minggu langsung tamat. Nanti, bisa buka sendiri. Langsung uang banyak, pulang kampung bawa mobil yang keren. Tapi, ada juga yang diperas. Tak bisa maju sampai nikah. Tetap saja partagi. Tentu, tidak semua rentenir demikian, bukan?. Ini potret segelintir saja. Ada juga rentenir yang menguliahkan keluarga, tapi hitungannya jelas.
Ketiga, tukang tempel ban mengajari keluarga bagaimana bertahan hidup dengan tempel ban. Sebab, ada tukang tempel ban yang kaya. Ada sebuah cerita tukang tempel ban tahun 80-an. Pekerjaan tempel ban tapi pulang naik mobil kijang. Mobil kijang sudah mewah ketika itu. Karena itu, ramai-ramai mereka jadi tukang tempel ban ke Jakarta. Tapi, kaya raya kan bukan hanya tempel ban. Ada oplos olinya kan?. Jadi, yang buat kaya usaha tempel ban atau oplos oli?. Persepsi orang tukang tempel ban, jadinya malas kuliah. Karena untuk apa kuliah kalau tempel ban bisa kaya?. Pulang kampung naik kijang?, kata si Jahorman ketika itu.
Banyak cerita dalam #gurmanpunyacerita. Satu hal yang perlu diingat adalah, cerita untuk menginspirasi. Supaya yang baik kita lanjutkan, yang buruk kita hentikan. Pertanyaanya adalah model mana yang kita bangun untuk keluarga kita? Model profesor Midisir?, model rentenir atau model tukang tempel ban. Bebas memilih model. Pastinya, saya berkawan dengan ketiganya.
#gurmanpunyacerita