HIDUP ini berharga karena senantiasa menyediakan sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Jika mudah menyerah, Anda akan kesulitan untuk berdamai dengan kehidupan. Garda kehidupan punya kutub berlawanan di seberangnya, yaitu jalan kematian.
Orang-orang berpemikiran pendek dan tidak punya cukup nyali (yang positif) sering pula tidak punya cukup kesiapan untuk menjalani kerasnya kehidupan. Biasanya mereka mungkin mudah tergoda menempuh jalan-jalan pintas. Mereka berisiko lebih memilih maut alias jalan kematian. Penulis tidak bermaksud merincinya lebih lanjut agar tidak menginsipirasi seseorang untuk menempuh jalan-jalan sesat apa pun!
Pada masa pemilihan umum yang lalu, barisan relawan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (pileg) tangguh berjuang memenangkan tokoh-tokoh dukungan mereka. Sebagai relawan, kerja mereka tidak kenal lelah dan seolah-olah nyaris tanpa punya batasan waktu.
Latar belakang profesi dan status sosial para relawan pemilu memang sangatlah beragam. Namun, mereka bersatu dan mampu dipersatukan oleh satu kepentingan memenangkan sang calon dukungan. Sehingga, di tengah-tengah ataupun di sela-sela kesibukan masing-masing mengerjakan profesinya, mereka tetap rela menyediakan waktu, pemikiran, uang, dan bahkan tenaga mereka demi pemenangan pihak yang didukung.
Namun, seusai pemilu berlalu, mereka masing-masing telah sepenuhnya fokus kembali mengerjakan rutinitas kehidupan sebelumnya. Meskipun demikian, tidak sedikit di antara mereka masih menjaga jalinan komunikasi dan berkonsolidasi seperti biasa. Mungkin karena sebelumnya itu semua telah terbangun cukup kuat dengan sesama mantan relawan pilpres ataupun relawan pileg. Manusiawi karena para relawan pun merupakan sesama makhluk sosial.
Fokus seusai pemilu
Jikalau sebelumnya platform media sosial (medsos) apa pun dipergunakan secara intensif dalam bingkai ranah politik, maka seusai pemilu fokusnya dapat begeser secara alamiah ke sisi kehidupan agak personal. Sehingga, antar-sesama mantan relawan masih saling bertukar sapa, berkirim kabar, dan/atau sekadar menunjukkan perhatian pribadi entah dalam bentuk apa pun. Kepedulian tersebut membuktikan bahwa mereka benar-benar adalah sesama insan sosial. Bahkan sesama pribadi religius ber-Tuhan meskipun sebatas dalam pengertian antar-iman atau lintas-keimanan.
Terkait hal ini, penulis benar-benar menghargai, tatkala secara tiba-tiba sebuah siaran (pribadi) masuk ke ponsel penulis kiriman seorang admin grup WhatsApp yang penulis ikuti. Penyebabnya mungkin saat itu setelah sekian lama penulis tidak beraktivitas memposting sesuatu ataupun meresponi sesuatu di grup WA tersebut. Entah apa pun alasannya, penulis benar-benar sangat menghargai perhatian rekan admin tersebut.
Kemudian, tatkala seusai pemilu, para elite politisi parpol koalisi dan non-koalisi terlihat bermanuver, entah saling merapat ataupun agak menjaga jarak, maka seolah-olah tidak ingin kalah dengan mereka, para mantan relawan tersebut saling berbagi informasi, memotivasi sesama relawan, dan bahkan berkonsolidasi semisal mengajak seseorang calon mitra potensial untuk sama-sama bekerja untuk sebuah prospek kerja/bisnis baru berikutnya.
Tidak sodorkan calon menteri
Semisal, jangkauan sorotan kami sekarang tidak sebatas di ranah kepentingan politik (publik) saja. Ini pun masih sebatas wajar dan semuanya sah-sah saja. Bukankah sesama relawan itu telah cukup saling kenal dan/atau telah memiliki pemahaman kapasitas dan kapabilitas personal masing-masing? Pengenalan kapasitas dan kapabilitas pribadi tersebut kiranya beranjak dari pengalaman sebelumnya sepanjang beraktivitas bersama-sama sebagai sesama relawan.
Uniknya, sepanjang pemantauan publik jelang penyusunan Kabinet Kerja Jilid Kedua oleh Presiden Joko Widodo, antar-sesama anggota dalam grup WA kami pernah saling beradu seru-seruan. Beberapa rekan dan khususnya satu rekan, dua rekan, serta seorang senior (mungkinkah beliau cukup sepuh?) cukup agresif menyodorkan nama-nama calon menteri unggulan mereka sembari dengan meminta tanggapan grup. Seusai menyodorkan dan membahas profil tokoh-tokoh publik ternama sebagai calon menteri, rekan senior itu (sudah sepuhkah?) beralih menyodorkan nama-nama anggota grup WA kami.
Memang agak usil, sih tetapi aksi beliau masih asyik dan belum sampai terbilang “super-tengil”. Meskipun “setega-teganya” beliau menyebut nama penulis sebagai calon menteri P (😊). Sekali lagi, kebiasaan grup WA kami memang tempatnya biang seru-seruan tanpa pretensi apa pun. Ya, semua sebatas untuk “memanaskan” atmosfir perbincangan dalam salah satu WA grup paling super-aktif di Indonesia (maafkan belum pernah ada data surveinya)!
Sudah pastilah prinsip umum relawan bekerja tidak persis disamakan dengan cara bekerja para kader politisi beserta parpol-parpol mereka. Kemiripan sebatas tertentu mungkin saja ada tetapi tidak pernah persis sama. Pasalnya, relawan pilpres ataupun pileg bekerja atas dasar kerelaan pribadi. Mereka tidak berharap beroleh imbalan entah dalam bentuk apa pun. Meskipun berkesan sok idealis namun demikianlah relawan sejati bekerja tanpa menuntut balasan setimpal!
Kebahagiaan sejati relawan terpanggil ialah tatkala mereka kelak turut serta mengalami masa depan yang lebih baik bagi segenap warga Negeri ini, serta tatkala hadirlah kemajuan dan kesejahteraan di seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tanpa tergabung sebagai relawan resmi pemilu pun, kami merupakan sekumpulan “abal-abal” tidak terdaftar secara resmi dalam keanggotaan organisasi relawan mana pun. Namun, melihat manuver para elite politisi beserta parpol-parpol mereka jelang pembentukan Kabinet Kerja Jilid Kedua, sebagian terasa cukup mengganjal dan menimbulkan ketidaknyamanan di hati (mungkinkah itu ketidaknyamanan nasional).
Jikalau dapat menitipkan satu pesan kecil kepada Presiden Joko Widodo, kami berharap Presiden sungguh-sungguh menggunakan hak prerogatifnya dengan tepat dan bijak, serta seleluasa mungkin tanpa menuruti tekanan dari pihak manapun. Masa depan bangsa dan Negara ini niscaya jauh lebih penting daripada godaan untuk berkompromi jangka pendek dengan alasan apa pun.
Namun, sekadar mengingat bahwa relawan itu sendiri pun adalah sekumpulan manusia biasa, tentu saja, mereka pun wajib menafkahi keluarganya masing-masing. Kami yakin bahwa Presiden memiliki dasar pertimbangan yang lebih lengkap dan kemampuan melihat jauh lebih ke depan dibanding masyarakat biasa pada umumnya.
Penggelontoran bantuan permodalan sebatas tertentu kiranya cukup menolong relawan dalam menafkahi keluarganya. Pasalnya tidak semua relawan berlatar belakang memiliki profesi cukup mapan atau memiliki penghasilan layak untuk menafkahi keluarganya. Beruntungnya, setelah menelisik situs pencarian ternyata tersedia cukup banyak pilihan bagi siapa pun, yang berniat merintis satu bisnis kecil dan dipastikan dapat menguntungkan meskipun modal usahanya hanya berawal dari Rp1 juta.
Delapan pilihan usaha berikut ini memenuhi kebutuhan tersebut, semisal 1) usaha desain kaos, tas, produk fashion; 2) usaha lapak jualan pulsa ponsel di depan rumah; 3) usaha kerajinan tangan; 4) usaha souvenir (untuk pernikahan atau ulang tahun); 5) usaha sebagai guru les privat bahasa asing atau bimbel (bimbingan belajar); 6) usaha jasa penyewaan lahan parkir motor; 7) usaha sebagai perias artis; 8) usaha sebagai penulis konten atau penerjemah lepas.
Akhir kata, mengingat bahwa Presiden seyogianya menimbang segala sesuatu secara saksama, sudah tepatkah opsi untuk memasukkan parpol A, B, C, atau Z ke dalam jajaran kabinet? Apakah sebaiknya membiarkan parpol-parpol tertentu tetap berada di luar pemerintahan (pusat) agar peranan mereka senantiasa terjaga konsisten seiring dan sepadan sikap serta perilaku mereka selama ini? Dengan demikian, pihak Pemerintah dapat memiliki penilaian alternatif sebagai bahan rujukan pembanding dan sebagai penyeimbang konstruktif. Sebab hingga kapan pun, Negara membutuhkan peran serta suatu kritisisme yang konstruktif dan produktif.