Indovoices.com –Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Pilkada 2020 tak bisa ditunda, harus tetap jalan meski kasus Covid-19 di Indonesia belum ada sinyal melandai.
Presiden beralasan, tak ada seorang pun yang bisa memastikan kapan pandemi bakal berakhir.
“Penyelenggaraan pilkada harus tetap dilakukan dan tidak bisa menunggu sampai pandemi berakhir,” kata Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (8/9/2020).
“Karena memang kita tidak tahu, negara mana pun tidak tahu kapan pandemi Covid-19 ini berakhir,” sambungnya.
Di sisi lain, ratusan calon kepala daerah diduga melakukan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19.
Bakal pasangan calon kepala daerah datang ke KPU dengan arak-arakan massa meski telah diminta membatasi rombongan.
Banyak kerumunan saat mereka mendaftar sebagai peserta Pilkada pada 4-6 September 2020. Kondisi ini dikhawatirkan semakin meningkatkan risiko penularan Covid-19.
Berbagai kalangan meminta agar aturan protokol kesehatan Pilkada ditegakkan. Jika tidak, gelaran Pilkada justru bisa jadi ancaman klaster baru penularan Covid-19.
Bawaslu menyatakan, selama 2 hari pendaftaran peserta Pilkada 2020 digelar, terjadi 243 dugaan pelanggaran protokol Covid-19 yang dilakukan bakal calon kepala daerah.
Data ini dihimpun selama 4-5 September. Sebagian besar pelanggaran adalah para bakal pasangan calon membawa massa saat mendaftar ke KPU.
Aturan mengenai prosedur pendaftaran peserta Pilkada diatur dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang perubahan PKPU Nomor 6 Tahun 2020. Pasal 49 Ayat (3) menyebutkan, pendaftaran peserta Pilkada hanya boleh dihadiri ketua dan sekretaris partai politik, atau bakal pasangan calon.
Menangapi ini, Presiden Jokowi meminta KPU, Bawaslu, dan TNI-Polri menertibkan pendaftaran bakal calon kepala daerah yang masih melibatkan kerumunan massa di tengah pandemi Covid-19.
“Situasi ini tidak bisa dibiarkan,” lanjut dia.
Menyikapi hal ini, Ketua Bawaslu Abhan menyebut, bakal pasangan calon kepala daerah yang membawa arak-arakan massa saat pendaftaran peserta Pilkada 2020 dapat dikenai sanksi administratif ataupun pidana.
Dalam hal pemberian sanksi administratif, Bawaslu akan menyampaikan rekomendasi ke KPU.
Terkait sanksi pidana, kata Abhan, Bawaslu punya kewenangan untuk meneruskan dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang diatur di luar undang-undang pemilihan, ke aparat keamanan.
Lempar tanggung jawab
Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, para pemangku kebijakan saling lempar tanggung jawab atas kerumunan massa saat pendaftaran Pilkada.
Pasca terjadinya kerumunan, menurut Fadli, baik KPU, Bawaslu, Kemendagri maupun Komisi II DPR RI sama-sama mengaku punya kewenangan terbatas dalam menindak.
Padahal, kesepakatan untuk melanjutkan tahapan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 diambil oleh lembaga-lembaga tersebut.
“Harusnya mereka ambil tanggung jawabnya untuk memastikan Pilkada dilaksanakan dengan protokol kesehatan,” kata Fadli kepada Kompas.com, Senin (7/9/2020).
“Jangan ketika kondisi seperti ini, semuanya merasa kewenangannya terbatas,” lanjutnya.
Fadli menyebut, sejak awal, pihaknya telah mengingatkan bahwa Pilkada di tengah pandemi Covid-19 berbahaya dan berisiko bagi keselamatan warga negara.
Oleh karenanya, kerangka hukum untuk melanjutkan Pilkada saja sebenenarnya tidak cukup.
Harus ada aturan dan sanksi tegas terhadap pelanggar protokol kesehatan di seluruh tahapan Pilkada, termasuk tahap pendaftaran calon.
Jika regulasinya kurang, seharusnya para pemangku kebijakan dapat melengkapinya sejak awal.
Sehingga, yang terjadi tidak seperti saat ini, banyak terjadi pelanggaran namun komitmen penegakkan protokol kesehatan Pilkada nampak hilang.
“Lalu siapa yang akan bertanggung jawab?,” tuturnya.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan dalam gelaran Pilkada 2020.
Alwan menyarankan agar sanksi yang diatur Perppu berupa diskualifikasi pasangan calon kepala daerah pelanggar dari kepesertaan Pilkada.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari penyelenggara Pilkada hanya punya dua opsi, menerapkan protokol kesehatan secara ketat atau menunda penyelenggaraan Pilkada hingga situasi aman kembali.
“Jika tidak ingin kebablasan maka harus dipastikan protokol kesehatan dijalankan tanpa pandang bulu,” kata Feri melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com.
“Atau, tunda penyelenggaraan Pilkada sampai batas aman Covid-19 diumumkan WHO atau pemerintah Republik Indonesia berdasarkan masukan dari pihak-pihak berkompeten,” tuturnya.
Kampanye bisa dihentikan
Sementara itu, KPU terus berupaya agar Pilkada tak menjadi klaster baru Covid-19. KPU mengeluarkan sejumlah aturan dalam upaya meminimalisasi penularan virus corona.
Salah satunya terkait kampanye.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, kampanye yang melanggar protokol kesehatan dapat dihentikan.
“Pertama diingatkan jaga jarak. Lalu bisa saja sampai dihentikan kegiatan kampanye tersebut (jika masih melanggar), kalau ada unsur pidana bisa dipidanakan,” kata Arief.
Arief pun menekankan, para calon kepala daerah harus tetap mengedepankan protokol kesehatan saat berkampanye.
Tahapan kampanye berlangsung mulai 26 September 2020 hingga 5 Desember 2020.
“Pencegahan Covid-19 ini syarat yang mutlak, tidak dapat ditawar, harus dipatuhi semua pihak baik penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan pemilih,” lanjut Arief.(msn)