Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh pidato Bupati Lampung Selatan Zainuddin Hasan yang menuai kontroversi dan menuai kecaman terutama dari warga Nahdliyin yaitu sebutan untuk warga NU (Nahdlatul Ulama) yang merupakan Ormas Keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia.
Pidato Bupati Lampung Selatan yang merupakan kader PAN (Partai Amanat Nasional), dianggap penghinaan terhadap Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj
Pidato si Bupati mungkin dimaksudkan untuk mengadu domba antar warga NU, namun bisa jadi sekaligus menunjukkan ketidakpahamannya terhadap masalah jenggot.
Demikian kutipan pidato si Bupati yang berkaitan dengan masalah jenggot tersebut:
“Ini tiap hari dicaci maki sama pimpinan NU pusat, KH Profesor Said Aqil Siroj. Kata beliau, makin panjang jenggot seseorang, makin bodoh karena otaknya tertarik.”
Saya akan mencoba berbaik sangka, bisa jadi si Bupati tidak membaca penjelasan Said Aqil Siradj berikut ini:
“Wali-wali Allah, para sufi, kiai-kiai NU seperti Hadrotusyekh Hasyim Asy’ari juga berjenggot, tapi mereka mengikuti akhlak Rasulullah. Konsekuensinya, orang berjenggot, harus pula berusaha mengikuti perilaku Rasulullah. Jika berjenggot malah menjadikan sombong, merasa paling benar, paling Islam, paling mengikuti sunnah Rasul, itu berarti bertolak belakang dengan sifat Rasululllah. Lebih lanjut ia menjelaskan, ketika memelihara jenggot, syaraf pendukung kecerdasan otak, tertarik habis oleh jenggot. Karenanya jenggot mengurangi kecerdasan. Menurut dia, kecerdasannya itu akan turun ke hati. Artinya orang berjenggot panjang adalah simbol dari hati yang sudah arif, bersih, sudah tidak lagi memikirkan harta dunia, kedudukan, dan ikhlas lillahi ta’ala.”
Demikian penjelasan Said Aqil Siradj yang saya kutip dari website resmi NU yang telah saya cantumkan referensinya dibawah.
Dalam hal ini saya ingin menyampaikan sebagai berikut, dalam konteks zaman, orang orang zaman dahulu berjenggot itu bukan sekedar penghias wajah saja, karena jenggot itu selain sunnah Rasul, mereka juga berusaha meniru akhlak dan perilaku Rasul SAW. Mereka akan merasa malu bila berjenggot namun perilaku maupun akhlaknya tidak sesuai dengan Rasululllah.
Coba bandingkan dengan perilaku ulama radikal zaman sekarang, dengan bermodalkan jenggot mereka sudah merasa paling Islam, paling benar, paling sombong, paling pintar, paling hebat, kunci neraka dan surga mereka yang pegang, bagi yang dibencinya segala caci maki dilontarkan, jenggot, baju gamis dan sorban mereka jadikan topeng untuk menutupi sifat munafik dan nafsu duniawi mereka, apakah mereka pernah instropeksi?, apakah mereka merasa malu?, tentu tidak, karena bila mereka mau instropeksi ke dalam diri mereka sendiri dan mau membandingkan apakah ahklak dan perilakunya sudah sesuai dengan Rasul, mereka pasti akan merasa malu dan bertobat.
“Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang batil dengan agama.” (Ibnu Rusyd).
Dan itulah yang diterapkan oleh orang orang yang merasa dirinya adalah “Ulama” zaman sekarang. Ayat ayat di dalam kitab suci dikutip dan disitir untuk kepentingan politik dan golongannya tanpa dia merasa risih ataupun malu, orang orang seperti inilah yang saya anggap mencoreng dan menistakan agamanya sendiri.
Kembali ke pidato si Bupati, jadi keliru kalau dia memaknai secara harfiah perkataan Said Aqil Siradj tersebut. Sudah keliru menafsirkan perkataan orang, malah menghasut dan mengadu domba agar tokoh NU di daerah melawan ketua PBNU lagi.
Jadi saya pikir wajar bila kaum Nahdliyin merasa tersinggung dan melaporkan Bupati Lampung Selatan tersebut yang walaupun telah meminta maaf namun proses hukum tetap harus diteruskan.
Namun demikian, kaum Nahdliyin juga harus hati hati, pidato tersebut tentulah disampaikan bukan secara spontan tanpa maksud dan tujuan yang sudah terencana. Saat berpidato, tentu si Bupati menyadari konsekuensi isi pidato tersebut.
Bisa jadi konsekuensi dari pidato tersebut memang telah diperkirakan dan bisa dimanfaatkan sebagai rencana untuk “playing victim” alias berpura pura menjadi korban, strategi yang usang namun sering dipakai oleh kaum bumi datar untuk menarik simpati kaumnya. Mungkin saja si Bupati akan mengatakan kalau dia telah meminta maaf, namun tetap diproses secara hukum. Mungkin saja dia akan mengatakan bahwa ada usaha usaha untuk menjatuhkan dirinya yang “tidak sengaja” menyampaikan pidato tersebut sehingga terkesan dirinya dizholimi.
TIDAK ADA SATU PIDATO YANG TIDAK DISENGAJA. SEMUA PIDATO PASTI DIRENCANAKAN DIPIKIRKAN DAN DIRANGKUM DALAM KATA-KATA.
Jadi saran saya kepada kaum Nahdliyin, tetaplah hati-hati dan tidak mudah terpancing provokasi yang dilakukan untuk membenturkan sesama masyarakat NU ataupun sesama tokoh NU yang menganut Islam yang sejuk, Islam Nusantara.
www.nu.or.id/post/read/62227/tiru-rasulullah-bukan-sekadar-jenggot-tapi-akhlak