Indovoices.com-Ketika kecil, abangku yang persis diatasku, Panggabean Manurung biasa biasa saja. Tidak begitu menonjol dibanding kawan-kawannya. Bakatnya di bidang olah raga biasa biasa saja. Tetapi, seingatku dia pandai memasak dan rajin ke ladang. Lulus SMPN Siraituruk, dia melanjutkan sekolah ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Ayah kami memang mempersiapkannya untuk menggantikannya menjadi petani. Dia anak ke 11, aku anak yang ke 12.
Setelah lulus SPMA dia bekerja di perkebunan di Labuhan Batu. Ayahku menyuruh pulang, karena dia dipersiapkan menggantikan ayahku bertani. Sebab menurut ayahku tidak mungkin saya tidak kuliah. Entah apa pertimbangan ayah kami memilihnya bertani. Dia diminta pulang dengan fasilitas sepeda motor GL 125 tahun 1990. Lebih enak di kampung karena diberi fasilitas sepeda motor yang cukup keren ketika itu.
Tahun 90-an adalah masa transisi. Ayah kami sudah mulai tua, sementara aku akan memulai kuliah. Ayah kami membuat spekulasi. Ayah kami menjual kerbau untuk modal menanam jahe. Sebab tanaman jahe ketika itu sangat mahal. Saya ingat, bibit jahe ketika itu Rp 9000/kg. Ayah kami menjual puluhan kerbau untuk modal menanam jahe.
Tanaman jahe tumbuh sukses. Kualitasnya sangat bagus, tetapi harganya jatuh. Hanya Rp 250/kg. Kami sedih. Harga Rp 250/kg tidak cukup untuk biaya panen saja. Ayah kami sedih. Padahal, maksud ayahku adalah dana dari panen jahe akan disimpan di bank untuk biaya kuliahku.
Fluktuasi harga di petani menjadi hal yang tragis. Tidak ada kepastian harga bagi petani. Petani tidak memiliki harapan ketika itu. Mereka bertani hanya mengadu nasib. Perubahan harga menghitung hari. Petani harap-harap cemas setiap saat.
Lain halnya dengan Panggabean Manurung. Panggabean Manurung bisa mengatasi fluktuasi harga dengan caranya sendiri. Ketika harga jahe turun drastis, dia menjadikan jahe itu bibit. Dengan demikian hitung ekonominya tidak menghitung harga bibit. Dia terus menerus menanam jahe. Dengan cara ini dia bertemu harga murah dan harga mahal. Cara inilah yang dia tempuh untuk keberlanjutan pertaniannya. Banyak petani mundur dan patah semangat karena fluktuasi harga.
Kegigihan dan strategi bertani membuatnya mampu menyekolahkan anaknya tanpa mengalami kesulitan. Anaknya yang pertama telah lulus dari IPB Bogor, yang kedua lulus dari USU. Anak ketiga setelah tamat SMA memilih menjadi petani karena senang sekali bertani. Anak keempat kuliah di USU dan anak kelima serta ke enam masih SMA. Tidak sulit baginya menyekolahkan anak-anaknya hingga ke Perguruan Tinggi.
Selain rajin bertani, pernah dua periode sebagai Kepala Desa. Dia ingin petani di desa kami Nalela bisa mengatasi persoalannya sendiri. Persoalan petani bisa diatasi petani itu sendiri. Persoalan itu lebih cepat lagi diatasi jika didukung kebijakan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
#gurmanpunyacerita