Indovoices.com-Indonesia menempati peringkat pertama kematian akibat Covid-19 di dunia. Per Rabu (1/4/2020), persentase kematian mencapai 9,4 persen dari total 1.677 kasus.
Peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) Henry Surendra menyatakan persenasi tersebut bisa saja berbeda di lapangan.
Melalui The Conversation, Henry berasumsi bahwa ketidakselaran persentase kematian dan kejadian di lapangan bisa disebabkan karena banyaknya kasus positif yang belum terkonfirmasi.
Menurut Henry, persentasi kematian Covid-19 di Indonesia seharusnya lebih rendah karena mayoritas kasus bisa saja belum terkonfirmasi.
“Ibarat gunung es di tengah laut, yang tampak ke permukaan dan dideteksi oleh laboratorium baru pucuknya. Sedangkan bagian tengah dan dasarnya belum terdeteksi,” tulisnya pada the Coversation.
Dengan prediksi itu, Henry menyatakan setidaknya ada tiga elemen yang menyebabkan persentase kematian virus corona di Indonesia tinggi.
1. Pemeriksaan Minim
Pemeriksan Covid-19 di Indonesia masih minim. Hingga 30 Maret 2020, pemeriksaan baru dilakukan pada 6.600 orang dengan 1.414 orang positif. Padahal jumlah warga mencapai 264 juta jiwa.
Dilansir dari The Wall Street Journal (WSJ), Indonesia menempati ranking ke-14 dalam pengetesan tes corona.
Peringkat pertama yakni Korea Selatan di mana negara tersebut melakukan tes sebanyak 6.148 setiap 1 juta orang. Disusul oleh Australia yang melakukan tes pada 4.447,4 per 1 juta orang.
Berikut adalah ranking dari WSJ melalui akun instagramnya:
1. Korea Selatan: 6.148 tes dalam 1 juta orang
2. Australia: 4.473,4 tes dalam 1 juta orang
3. Italia: 3.498,7 tes dalam 1 juta orang
4. Inggris: 959,7 tes dalam 1 juta orang
5. Finlandia: 537,6 tes dalam 1 juta orang
6. Amerika Serikat (AS): 313,6 tes dalam 1 juta orang
7. Vietnam: 159 tes dalam 1 juta orang
8. Jepang: 117,8 tes dalam 1 juta orang
9. Afrika Selatan: 109,6 tes dalam 1 juta orang
10. Kolombia: 81,7 tes dalam 1 juta orang
11. Filipina: 11,6 tes dalam 1 juta orang
12. India: 10,5 tes dalam 1 juta orang
13. Pakistan: 9,5 tes dalam 1 juta orang
14. Indonesia: 7,4 tes dalam 1 juta orang
Kurangnya tes juga terbukti pada kasus pemakanan berprotap di Jakarta yang jumlahnya dua kali lipat dari pada kematian terkonfirmasi.
“Sejauh ini, pemerintah hanya memfokuskan pemeriksaan pada orang yang memiliki gejala seperti demam (lebih dari 38 derajat Celcius), pilek, batuk, sakit tenggorokan atau sesak napas setelah kontak fisik dengan pasien positif atau bepergian ke wilayah terjangkit dalam 14 hari terakhir,” tulis Henry.
Pada hasil penelitian pemodelan matematika oleh Timothy W Russell dan tim peneliti dari London School of Hygiene and Tropical Medicine Inggris menyatalan, bahwa sekitar 4,5% dari total kasus bergejala yang diperkirakan ada di masyarakat.
2. Banyaknya Orang Terinfeksi Tidak Bergejala atau Ringan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan 80 persen orang terinfeksi corona biasanya mengalami gejala ringan. Melansir dari South China Morning Post (SCMP), sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di Singapura dan diterbitkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS memperkirakan sekitar 10 persen infeksi Covid-19 dipicu oleh orang yang tidak mengalami gejala signifikan.
Penelitian tersebut baru diterbitkan pada Rabu (1/4/2020). Sayangnya tes yang dilakukan di Indonesia hanya untuk orang dengan gejala signifikan. “Hal ini mengakibatkan kemungkinan besar orang yang mengalami gejala ringan akan mengobati diri sendiri sampai sembuh, sehingga tidak terdeteksi oleh sistem kesehatan,” tulis Henry.
“Temuan ini mengindikasikan bahwa jumlah kasus Covid-19 yang dilaporkan hingga saat ini masih sangat jauh dari jumlah kasus yang sebenarnya terjadi di masyarakat, termasuk di Indonesia,” tambahnya.
3. Tingginya Penderita Penyakit Kronis
WHO menyatakan, bahwa setidaknya enam dari 10 penyebab kematian di dunia adalah karena penyakit kronis. Tingginya penderita penyakit kronis di Indonesia juga bepeluang memperbesar risiko kematian akibat Covid-19.
“Tingginya angka kesakitan penyakit kronis di Indonesia seperti penyakit jantung koroner 1,5% dari total populasi pada 2018 atau 4 juta orang, diabetes melitus (1,5% atau 4 juta), dan hipertensi (34% atau 60 juta dari grup populasi berusia 18 tahun ke atas) dapat meningkatkan risiko kematian pada kasus COVID-19,” tulis Henry yang juga merupakan seorang epidemologis. (msn)