Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca berita dari salah satu media yang menuliskan tentang Deddy Corbuzier yang membongkar adanya artis settingan yang mendapat bayaran tinggi. Siapa yang membayar? Tentu saja artis lainnya yang memanfaatkan jasa mereka.
Pembongkaran tarif dan harga artis settingan ini diungkap Deddy Corbuzier di laman Youtube pribadinya, Deddy Corbuzier, Kamis 29 November 2018.
Lantas apa sih yang mendasari para artis tersebut melakukan settingan? Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga popularitas mereka di dunia panggung hiburan. Karena namanya mulai meredup, kalah oleh artis-artis pendatang baru, tidak punya prestasi atau karya yang bisa dibanggakan lagi.
Seringkali para artis yang dimaksud nekat menggunakan gosip-gosip kontroversial dengan melibatkan artis settingan yang dibayar tersebut, hanya agar nama mereka tetap bersinar. Acapkali juga gosip yang mereka munculkan sama sekali tidak bermutu, nikah pura-pura, cerai pura-pura, bertengkar pura-pura, semuanya serba pura-pura, yang nyata adalah kepura-puraan itu sendiri. Namun anehnya tontonan seperti inilah yang paling disukai oleh pemirsa.
Membaca hal tersebut membuat saya memikirkan, apakah ada korelasinya antara apa yang dilakukan para artis tersebut dengan dunia politik saat ini. Jawabannya ada, setidaknya demikianlah menurut saya dari cara-cara yang dipakai oleh pasangan kandidat Prabowo-Sandiaga Uno.
Coba kita lihat salah satu contohnya, terkait Reuni 212 yang diselenggarakan pada tanggal 2 Desember 2018 yang lalu. Tanggal 5 Desember 2018, Prabowo baru marah besar kepada media massa karena dianggap tidak ada yang meliput.
Prabowo mengatakan dirinya berlangganan delapan koran setiap hari hanya untuk mengetahui kebohongan apa yang dimuat media-media tersebut. Pertanyaannya adalah kenapa setelah 3 hari kemudian Prabowo baru marah ke media? Padahal di kasus Ratna Sarumpaet, dia sanggup mengumpulkan media dalam waktu singkat dan menyampaikan konferensi pers malam itu juga.
Anggaplah pada tanggal 2 Desember Prabowo masih belum tahu kalau tidak banyak media yang meliput. Namun bila dirinya memang benar berlangganan delapan koran setiap harinya, harusnya tanggal 3 Desember 2018 sudah marah karena koran langganannya tidak memuat berita tersebut. Jadi kenapa marah-marahnya bisa dipending hingga 2-3 hari kemudian, baru diluapkan pada tanggal 5 Desember 2018? Seakan-akan ada yang mengajari, eh manfaatkan momen ini, nanti kamu harus ngamuk-ngamuk agar heboh dan diliput oleh media.
Kemudian yang terasa janggal berikutnya adalah soal ucapan reuni 212 yang diikuti oleh sebelas juta orang. Apa tidak aneh? Bila orang seperti Prabowo menganggap jumlah peserta reuni di Monas melebihi jumlah penduduk Jakarta itu sendiri? Padahal kalau dia ada membaca koran, tentu akan tahu bahwa pernyataan PA 212 “hanya” menyebutkan 8 juta, sedangkan dari pihak kepolisian menyebutnya sekitar 40 ribu hingga seratusan ribu. Terlalu janggal dan kental aroma settingan menurut saya.
Itu belum termasuk wakilnya yang mengeluarkan pernyataan aneh di hari yang sama, tanggal 5 Desember 2018. Sandiaga Uno mengatakan, Nabi Yusuf butuh waktu selama tujuh tahun untuk mengatasi krisis. Namun dirinya bersama Prabowo hanya dengan waktu tiga tahun sudah dapat memulihkan perekonomian Indonesia. Terkesan hiperbola? Benar sekali.
Yang menjadi pertanyaan saya, kenapa sepasang capres cawapres ini suka sekali mengeluarkan pernyataan aneh dan tidak masuk di akal? Kesannya mereka sangat menikmati sekali saat pernyataan-pernyataannya menjadi heboh di berbagai media masa maupun dunia maya. Apakah pembaca bisa menjawabnya? Baiklah sebelum melanjutkan. Saya akan menceritakan hal lain dulu dimana pada akhirnya antara pernyataan konyol yang dilontarkan pasangan Prabosan dengan hal yang akan saya ceritakan ini, akan terlihat korelasinya.
Tanggal 28 November, saya membaca pernyataan Pakar media sosial sekaligus pendiri PT Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi yang menilai tingkat militansi kampanye influencer Jokowi – Ma’ruf Amin di media sosial atau medsos merosot. “Kalah dengan oposisi yang makin militan dan kompak,” kata Ismail kepada Tempo, Rabu pagi, 28 November 2018.
Ismail menyatakan merosotnya “prestasi” tim Jokowi di dunia maya terjadi lantaran influencernya sudah nyaman. “Mereka nyaman dengan posisi capres sebagai petahana.” Akibatnya, kini, materi keberhasilan program Jokowi yang disiapkan tim media sosial tidak sering disiarkan kembali oleh para influencer.
(https://pilpres.tempo.co/read/1150392/pakar-influencer-medsos-jokowi-malas-tim-prabowo-kian-militan)
Di kalimat pembukanya, salah satu penulis Kompasiana menulis:
“Meski awalnya diragukan, namun kini pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno mulai unjuk elektabilitas. Bukan hanya unggul di media sosial (medsos), elektabilitas pasangan yang diusung Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat ini kian mendekati pasangan petahana Joko Widodo-Ma’ruf Amin.”
(Https://www.kompasiana.com/yonbayu/5bfe63a7aeebe1527d5f9c75/kalah-di-medsos-serangan-darat-jokowi-terancam-gagal)
Analis Seword, Kajitow Elkayeni menyebutkan Analisisa kekalahan di medsos ini bukan hal baru. Bahkan menurut dirinya, berkaca dari gelagat Prabowo, kondisi Jokowi di medsos makin berbahaya.
(Https://seword.com/politik/jokowi-kalah-di-medsos-BYcCVz0V8)
Tak ketinggalan salah satu penulis Indovoices, Y. Suherman juga meminta agar semua relawan Jokowi untuk Stop diskusi atau share hal-hal yang berkaitan dengan Prabowo.
(https://www.Indovoices.com/umum/ayo-bangun-biar-i-love-you-full-relawan-jokowi-maruf-baik-tkn-dan-tkd/)
Saya kira empat contoh di atas sudah cukup, meskipun sebenarnya masih banyak lagi berbagai pendapat yang berseliweran di WAG. Namun intinya semua mengkhawatirkan semakin merosotnya pembahasan tentang Jokowi di medsos. Jangan dikira apa yang terjadi di medsos tidak akan mempengaruhi dunia nyata, seringkali terjadi apa yang viral di dunia nyata bermula dari pembahasan di medsos. Dan jumlah pengguna medsos di Indonesia diperkirakan mencapai 130 juta, sebuah angka yang sangat besar.
Itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh kubu lawan dengan cara menciptakan berbagai hal yang sifatnya sensasional, hiperbola, konyol dan tidak masuk di akal sekalipun dengan harapan aksi-aksi mereka akan menjadi perbincangan di dunia maya, berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Dan celakanya yang sibuk mendiskusikan tingkah laku konyol pasangan Prabosan adalah pendukung Jokowi sendiri.
Akibatnya berbagai program Jokowi luput dari pembahasan, luput dari diskusi bahkan cenderung tenggelam tertimpa oleh aksi-aksi konyol pasangan Prabosan. Dan secara tidak sadar, kita sudah dimanfaatkan oleh gerombolan pasangan Prabosan sebagai juru kampanye mereka dengan membahas berbagai sensasi yang mereka ciptakan.
Iseng-iseng Tim WAG IV pernah mencoba melakukan inventarisir terhadap berbagai pernyataan yang terkesan blunder yang pernah dikeluarkan oleh pasangan Prabosan dalam kurun waktu satu tahun terakhir ini. Coba tebak ada berapa pernyataan yang kami temukan? Bila artis hanya menciptakan settingan 1-2 berita sensasi, maka yang diciptakan oleh pasangan Prabosan bukan cuma 5, 10 atau 15, namun mencapai hampir 30 pernyataan. Coba bayangkan.
Mulai dari Indonesia bubar 2030, tempe setipis ATM, menghina tampang Boyolali, Nasi ayam di DKI lebih mahal daripada Singapura, Korupsi stadium 4, profesor fisika Indonesia hanya 1 orang, 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan, rakyat mudah disuap beberapa karung beras, menghina profesi Ojol hingga yang terbaru Reuni 212 berjumlah 11 juta orang dan wartawan antek asing serta masih banyak lagi lainnya.
Enough is Enough, STOP kampanyekan mereka, bila kita masih ingin Jokowi menjadi presiden, mari mulai sekarang kita konsentrasikan untuk share hasil kerja Jokowi, share berbagai program Jokowi serta semua hal yang berkaitan dengan Jokowi. Masih belum terlambat untuk itu, kita masih memiliki waktu hingga empat bulan ke depan.
Soal pasangan Prabosan? Mulai sekarang, abaikan, anda masih boleh membaca kekonyolan mereka, anda masih boleh menertawai tingkah gila mereka, tapi berhenti share tentang mereka, berhenti memberikan komen apapun tentang mereka di berbagai sosmed yang Anda ikuti. Itulah cara kita dalam melawan dan membungkam strategi yang dilakukan oleh pasangan Prabosan.
Silahkan saja mereka mau menyebut itu sebagai strategi meniru Trump atau meniru artis-artis settingan. Apapun namanya, abaikan saja. Silahkan bila media mainstream seperti detik, kompas, tribun dan sebagainya ingin memberitakan tentang Prabosan, namun tanpa partisipasi kita yang seringkali secara tidak sadar suka menshare berita-berita tersebut di sosmed, maka gaungnya pun tidak akan sebesar saat ini. Sudah waktunya kita sadar dan bangkit, jangan mau lagi dimanfaatkan oleh kelompok Prabosan menjadi juru kampanye gratisan mereka.
Mari kita fokus dan rapatkan barisan untuk kembali mengkampanyekan Jokowi. Mereka militan, kita harus lebih militan. Bila bukan kita yang menshare hasil kerja dan program Jokowi, mau siapa lagi? Kalau bukan kita mulai dari sekarang, mau kapan lagi?