Indovoices.com -Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati beberkan sejarah panjang Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Indonesia dari masa ke masa. Hal tersebut ia lontarkan saat memberikan Keynote Speech pada acara Kemenkeu Corpu Talk dengan tema “Opini WTP Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019” secara virtual di Jakarta.
Menkeu menyebutkan bahwa sejarah Republik Indonesia untuk membangun sebuah akuntabilitas pengelolaan keuangan negara terutama di era reformasi dimulai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
Sebelumnya, pengelolaan keuangan negara masih sangat minimal. Laporan pengelolaan keuangan negara hanya dalam bentuk perhitungan anggaran negara. Sistem pencatatan akuntansi yang digunakan pemerintah masih single entry dan berbasis cash. Pemerintah belum memiliki standar akuntansi pemerintahan yang merupakan pedoman praktik akuntansi pemerintahan, serta terdapat timelag/jeda waktu yang panjang antara periode pengelolaan anggaran dan pertanggungjawaban. Sehingga laporan keuangan tidak bisa menjadi feedback yang penting bagi perbaikan pengelolaan keuangan negara tahun-tahun selanjutnya. Maka era reformasi menjadi catatan penting pada pengelolaan keuangan negara.
“Dengan lahirnya era reformasi dan berbagai undang-undang keuangan negara, negara telah memberikan amanat bagi kita semua pemerintah pusat dan daerah serta seluruh stakeholder untuk memperbaiki suatu kualitas pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawabannya,” ujar Menkeu.
Menkeu menambahkan bahwa pada tahun 2004, Pemerintah membentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), dan melalui Keputusan Presiden nomor 84 TAHUN 2004 juga telah mempersiapkan dan merumuskan serta menyusun Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) di Indonesia. KSAP ini terdiri dari unsur pemerintah, praktisi, asosiasi profesi, dan juga akademisi yang memiliki kompetensi dalam bidang akuntansi sektor publik.
Kemudian pada tahun 2005, keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). SAP tersebut menganut basis cash towards accrual sebagai transisi dari penerapan yang berbasis kas menuju akrual.
Selanjutnya, modernisasi dari laporan keuangan terus dilakukan oleh Pemerintah dengan dikeluarkannya PP nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan sebagai pengganti PP nomor 24 tahun 2005. Melalui nomor 71 tahun 2010 tersebut, SAP yang berbasis kas menuju akrual tetap dapat digunakan sampai tahun 2014. Lalu pada tahun 2015, pemerintah sudah harus dapat menerapkan proses akrual secara penuh dalam penyusunan laporan keuangan.
“Ini adalah suatu tugas yang luar biasa penting dan berat karena memang membangun dan menciptakan suatu sistem akuntansi berbasis akrual merupakan sesuatu yang membutuhkan perubahan mindset. Basis akrual akhirnya dapat digunakan pertama kali dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah atau LKPP tahun 2015 ini merupakan suatu momentum penting,” lanjut Menkeu.
Pada LKPP Tahun 2004 hingga 2009, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Tidak Memberikan Pendapat (disclaimer). Lalu pada LKPP tahun 2010 hingga 2015, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Sedangkan pada tahun 2016, LKPP mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Opini WTP ini bertahan selama 4 tahun berturut-turut hingga pada LKPP Tahun 2019.
“Ini merupakan suatu perjalanan yang panjang yang tidak hanya sekedar mengejar status opini, namun juga merupakan suatu perjalanan panjang dari bangsa kita pemerintah pusat dan daerah untuk terus membangun suatu tata kelola pengelolaan keuangan negara secara baik,” tegas Menkeu.
Pada kesempatan itu, Menkeu juga menegaskan bahwa Pemerintah terus melakukan langkah-langkah perbaikan walaupun mendapatkan opini WTP diantaranya dengan menindaklanjuti rekomendasi BPK terkait pemeriksaan LKPP, serta menyempurnakan sistem aplikasi terintegrasi dalam penyusunan LKPP tahun 2019 supaya validitas data dari LKPP dapat memenuhi standar kualitas yang lebih baik.
Menkeu juga menyebut bahwa Pemerintah membentuk taskforce atau gugus tugas untuk mempercepat penyelesaian permasalahan penyebab opini tidak menyatakan pendapat yang masih ada pada satu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) dan juga penyebab pengecualian kepada empat LKKL agar K/L tersebut dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan dan memperbaiki tata kelolanya.
Menkeu juga mendorong agar peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) terus ditingkatkan agar mampu terus mengawal dan memperbaiki tata kelola keuangan yang ada pada masing-masing Kementerian/Lembaga.
“Peran dan kualitas APIP ditingkatkan. Ini sejalan dengan rekomendasi dari BPK dan sejalan dengan kebutuhan pemerintah untuk terus memperbaiki sistem check and balance dan tata kelola di dalam masing-masing Kementerian dan Lembaga. Pemerintah juga terus melakukan penyelenggaraan meningkatkan kualitas SDM baik di Kementerian Keuangan, Kementerian dan Lembaga lainnya, serta Pemerintah Daerah. Ini ditujukan agar kita menyadari bahwa uang rakyat harus kita kelola dan pertanggungjawaban dengan baik,” jelas Menkeu. (kemenkeu)