Mendirikan tempat ibadah non muslim tampaknya menjadi hal yang cukup sulit belakangan ini. Setelah terjadi penolakan pembangunan gereja Santa Clara di Bekasi beberapa waktu lalu, kali ini penolakan terjadi terhadap tempat ibadah umat Hindu yang rencananya akan dibangun di Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi.
Sebuah keluarga Hindu bernama Uko yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut bermaksud mendirikan pura di tanah miliknya seluas 25 hektar. Rencana tersebut didasari fakta bahwa hingga saat ini belum ada tempat ibadah umat Hindu di kabupaten Bekasi, sehingga untuk beribadah atau pada hari raya Hindu mereka harus ke pura yang berada di kota Bekasi.
Sebenarnya apa saja sih syarat untuk mendirikan suatu tempat ibadah? Mari kita cek. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah, selain persyaratan administratif dan teknis bangunan, seperti IMB, pendirian rumah ibadah juga harus memenuhi persyaratan khusus yaitu :
- Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah, minimal 90 orang
- Dukungan masyarakat setempat, minimal 60 orang
- Rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota
- Rekomendasi tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) kabupaten/kota
Nah, menurut Ketua FKUB kabupaten Bekasi KH Athoillah Mursjid pada tanggal 8 Mei 2019 seperti yang dilansir oleh Detik, pihak keluarga Uko memang telah memberikan surat permohonan rekomendasi pendirian rumah ibadah kepada FKUB. Dalam surat permohonan tersebut telah dilampirkan fotokopi KTP dan tanda tangan calon jamaah sekurang-kurangnya 90 orang, serta fotokopi KTP dan tanda tangan masyarakat yang tidak keberatan atas pendirian tempat ibadah minimal 60 orang.
Namun meskipun mengakui bahwa permohonan tersebut telah sesuai dengan PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006, Athoillah juga mengatakan jika massa yang menolak lebih banyak ketimbang warga yang mendukung pembangunan pura, maka surat rekomendasi tidak bisa diterbitkan FKUB. Walau secara kuantitas pemohon memenuhi kuota, namun jika suasana tidak kondusif, maka surat rekomendasi juga ditangguhkan.
Ada yang melihat pernyataan Ketua FKUB tersebut sangat aneh, tidak konsisten dan inkonstitusional? Jika pihak pemohon telah memenuhi persyaratan kuota minimal tanda tangan warga yang mendukung, namun surat rekomendasi tetap tidak bisa dikeluarkan dengan alasan massa yang menolak lebih banyak dibandingkan yang setuju, lalu apa gunanya persyaratan kuota minimal tersebut? Bahkan sebenarnya untuk mendapatkan tanda tangan 60 warga setempat yang setuju pun bukan hal yang mudah.
Beberapa dekade lalu, bukan hal yang sulit untuk mendirikan tempat ibadah minoritas di wilayah mayoritas. Jika anda bermukim atau pernah melintas di wilayah Jakasampurna kota Bekasi, anda akan melihat masjid, gereja dan pura berdiri berdampingan di jalan yang sama, dalam kompleks yang sama, semua berjalan dengan harmonis dan saling menghormati. Tidak ada yang khawatir keimanan mereka akan terkikis dengan adanya tempat ibadah umat beragama lain di lingkungan sekitarnya. Namun saya yakin rumah-rumah ibadah tersebut didirikan bukan akhir-akhir ini, setidaknya 10 atau 20 tahun lalu.
Tapi sekarang, sepertinya paham radikalisme yang sangat tidak sesuai dengan napas dan jiwa bangsa Indonesia yang beragam ini mulai merasuk masuk, mengendap dan perlahan meracuni sebagian dari bangsa kita. Meracuni mereka dengan rasa tidak suka, ketakutan keimanannya akan terganggu atau superioritas, merasa lebih unggul dibandingkan orang lain. Tiba-tiba sesuatu yang berbeda dianggap sebagai musuh, mereka yang berbeda agama perlu dijauhi, tempat ibadah mereka akan menjadi ancaman bagi keimanan. Kalaupun tidak membenci, mereka menganggap diri mereka lebih superior dan harus didahulukan kepentingannya dibanding umat beragama lain.
Jadi, untuk memperoleh tanda tangan 60 warga setempat yang tidak keberatan dengan pembangunan pura pastilah bukan perkara gampang, apalagi di wilayah Jawa Barat yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam kasus keluarga Uko ini, ternyata setelah memperoleh 60 tanda tangan tersebut pun masih dipersulit pula oleh FKUB setempat!
Mengapa saya katakan dipersulit? Karena berdasarkan pernyataan yang ia berikan, ketua FKUB ternyata tidak berpedoman kepada undang-undang dan hukum. Seharusnya yang mereka lakukan adalah verifikasi terhadap data tanda tangan dan KTP yang diberikan oleh pihak pemohon. Jika verifikasi sudah dilakukan dan data valid, tak ada alasan untuk menolak permohonan rekomendasi. Apalagi jika alasannya massa yang menolak lebih banyak ketimbang yang mendukung pembangunan pura.
Kenapa warga menolak? Ada berbagai alasan yang mereka kemukakan, salah satunya karena perbedaan agama. Apakah yang mereka maksud, karena mayoritas warga di sana adalah muslim, sehingga pendirian rumah ibadah non muslim dirasa tidak diperlukan, karena jumlah penganutnya yang sedikit?
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim, 87 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Jadi apabila hal tersebut yang dijadikan alasan penolakan, maka tak akan ada tempat ibadah minoritas yang bisa berdiri. Padahal negara kita mengakui 6 agama secara sah dan menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Alasan lain, beredar isu bahwa pembangunan pura akan menggusur makam leluhur Desa Sukahurip, yakni almarhum Syeikh Komarudin. Menurut saya ini isu yang mengada-ada karena pura akan dibangun di atas lahan pribadi, seharusnya tidak mengganggu makam yang berada di lahan lain. Hal ini juga dikonfirmasi oleh salah satu warga bernama Sandim (65) yang bekerja pada pihak keluarga Uko.
“Nggak ngambil lahan pemakaman, bahkan itu (makam) mau dibagusin. Warga sini menolak karena takutnya kemungkinan dipengaruhi atau apa lah,” ujar Sandim.
“Itu tanahnya kan tanah dia. Berhubung udah ikut dia 20 tahun ya sudah tahu ini tanah punya dia 25 hektar,” ujar Sandim lagi.
Apakah yang dimaksud dengan warga takut dipengaruhi? Apakah karena berdekatan dengan pura lantas mereka khawatir keimanan mereka terhadap agamanya akan terkikis? Ataukah penolakan tersebut semata karena arogansi dan keegoisan karena merasa sebagai mayoritas?
Warga yang menolak bahkan memasang tiga baliho berukuran sekitar 1,5 x 2,5 meter. Tak ada alasan yang mereka sebutkan, termasuk tentang isu makam leluhur dan sebagainya. Hanya penolakan keras yang mereka tekankan. Tulisan yang tercantum antara lain :
“Kami para ulama beserta masyarakat Desa Sukahurip dan Desa Banjarsari, menolak dengan keras pembangunan tempat ibadah Pura di Desa Sukahurip.”
Ada juga tulisan yang bernada mengancam di baliho:
“Awas!!! Jika kalian tetap memaksa membangun pura kami siap jihad karena kalian yang memulainya”.
Sekali lagi, ini adalah bentuk arogansi dan keegoisan yang tidak boleh ditolerir. Undang-undang dan hukum negara telah mengatur persyaratan pendirian rumah ibadah. Jika semua persyaratan, baik persyaratan administratif, persyaratan teknis maupun persyaratan khusus bisa dipenuhi oleh pemohon, maka tak boleh ada penolakan pendirian rumah ibadah hanya berdasarkan tekanan massa.
Peran FKUB sebagai lembaga masyarakat sipil dalam memberikan rekomendasi pun sudah sering dipertanyakan. Salah satu yang dipertanyakan adalah obyektifitasnya. Izin pendirian tempat ibadah seharusnya merupakan otoritas negara yang tidak bisa didelegasikan kepada masyarakat sipil.
Contoh yang jelas, dari pernyataan ketua FKUB kabupaten Bekasi sudah terlihat inkonsisten dengan hukum yang berlaku. Meskipun persyaratan sudah dipenuhi oleh keluarga Uko, ternyata tidak menjamin FKUB akan memberikan surat rekomendasi untuk pendirian rumah ibadah. Artinya tidak ada kepastian hukum dalam hal ini.
Saya berharap negara memberikan perhatian yang serius terhadap hal ini. Presiden Joko Widodo dan kementerian terkait hendaknya bersikap tegas terhadap sekelompok warga yang bertindak sewenang-wenang terhadap warga lain atas nama mayoritas-minoritas. Semua warga negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum.
Wacana penghapusan PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang pendirian tempat ibadah ini pernah mengemuka beberapa kali. Pada tahun 2014 Jokowi disebut-sebut setuju mengenai penghapusan peraturan yang dinilai diskriminatif bagi penganut agama minoritas di suatu wilayah itu. Yang terbaru kemarin Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga menyatakan penghapusan peraturan tersebut akan menjadi salah satu prioritas utama mereka jika berhasil masuk ke parlemen. Sayangnya mereka tidak berhasil masuk ke DPR, sehingga kita mungkin harus menunggu langkah dan tindakan dari partai nasionalis lain untuk memperjuangkan hal tersebut.
Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2017, salah satu persoalan hak asasi yang paling menonjol dalam lima tahun terakhir adalah tentang pelarangan, perusakan atau penghalangan pendirian rumah ibadah di Indonesia. Selain itu, data dari SETARA Institute juga menyebutkan terdapat 378 gangguan terhadap rumah ibadah di seluruh Indonesia selama 11 tahun terakhir.
Salah satu identitas negara Indonesia adalah negara demokrasi yang religius. Sangat ironis jika kemudian hak untuk beragama dan beribadah menjadi sesuatu yang mulai sulit didapatkan di negara ini. Dan sangat disayangkan jika tindakan sekelompok warga negara menodai kemajemukan dan keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa sejak dahulu kala, lalu negara membiarkannya.
Referensi :
https://news.detik.com/berita/d-4539725/rencana-pembangunan-pura-di-sukatani-bekasi-ditolak-warga