Indovoices.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan tarif cukai minuman berpemanis per liter senilai Rp 1.500 hingga Rp 2.500. Penentuan tarif tersebut tergantung jenis minuman berpemanisnya. Setidaknya ada tiga jenis minuman berpemanis yang menjadi perhatian Sri Mulyani, antara lain teh kemasan dengan tarif Rp 1.500 per liter, minuman berkarbonasi Rp 2.500 per liter, energy drink, dan kopi konsentrat Rp 2.500 per liter.
Sri Mulyani mengaku sangat serius menerapkan cukai minuman berpemanis tersebut. Sebab, menurutnya minuman berpemanis menyebabkan tingginya penderita diabetes di Indonesia
Dampaknya, biaya kesehatan membengkak yang membuat BPJS Kesehatan defisit. Apalagi diabetes tak hanya menyerang usia dewasa atau lanjut, tapi juga remaja yang masih belasan tahun.
Menanggapi rencana tersebut, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman secara tegas menolak adanya cukai untuk minuman berpemanis. Menurutnya aturan tersebut tak akan mempan mengurangi angka diabetes maupun obesitas.
“Menolak. Ini hal lama yang diulang lagi. Kami pernah lakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat. Pada dasarnya belum ada data yang menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan penyakit tidak menular dan obesitas,” ungkap Adhi .
Menurut Adhi, jika rencana tersebut disusun Sri Mulyani semata-mata untuk mengatasi penyakit tidak menular seperti obesitas dan diabetes, Adhi menyatakan bahwa cukai tak akan berhasil mengatasi masalah tersebut.
Justru yang ada, daya beli masyarakat turun dan pendapatan pajak juga bakal terpangkas. “Kami sangat mengkhawatirkan ini, karena tujuan harus jelas. Kalau judulnya Potensi Penerimaan apakah tepat pemerintah melakukan ini?” tanya Adhi.
Menurut Adhi, sejatinya pengusaha telah berupaya untuk membantu pemerintah dalam mengatasi obesitas dan diabetes. Beberapa upaya yang dilakukan pengusaha yaitu pertama, dengan mengedukasi konsumen tentang dampak minuman berpemanis. Meskipun edukasi ini belum terorganisir dengan baik namun Adhi meyakini hal tersebut bisa berpotensi menjadi gerakan nasional untuk membawa dampak positif.
Kedua, para pengusaha juga melakukan reformulasi produk untuk menyesuaikan dan mendukung upaya mengatasi diabetes dan obesitas. Terakhir, Adhi mengklaim para pengusaha juga mencari alternatif pemanis yang lebih baik.
Menurut Adhi besaran produk pangan olahan yang dikonsumsi masyarakat hanya sebesar 30 persen dari total konsumsi pangan. Dengan kata lain, obesitas dan diabetes belum tentu disebabkan oleh minuman berpemanis.
Sebab, masyarakat bisa jadi mendapat asupan gula tak hanya dari makanan atau minuman kemasan olahan pabrik. Asupan gula berlebih juga bisa datang dari makanan ataupun minuman segar olahan rumah tangga.
“Jadi alasan mengatasi penyakit tidak menular dan obesitas tidak tepat sasaran. Sebagian besar konsumsi segar dan olahan rumah tangga,” pungkasnya. (msn)