Pemilu usai sudah. Rakyat sudah menuntaskan hak pilihnya. One man, one vote sudah terlaksana dengan baik. Setiap warga yang mencoblos telah mendapatkan spark of divinity (percikan ilahi) yang bisa jadi karena divine revelation (pencerahan ilahi), bahkan divine appointment yaitu ‘bertemunya’ kerinduannya yang paling dalam dengan terlaksananya hak pilihnya.
Quick count berbagai lembaga survey resmi sudah memenangkan Jokowi-Ma’ruf, namun, pengumuman resmi KPU-lah yang kita tunggu. Kali ini hasil pemilu dinilai para pengamat, termasuk TNI Polri, legitimate karena diikuti lebih dari 80% rakyat. Angka yang cukup menggembirakan bagi demokrasi di Indonesia. Angka golput bisa ditekan semininal mungkin. Namun, masih ada pihak-pihak lain yang tidak setuju, bahkan menyebutkan angka survey yang tidak saja berbeda, melainkan selisih jauh. Saling klaim kemenangan tak terhindarkan. Suara rakyat mana yang benar?
Vox populi, vox dei (Latin = suara rakyat adalah suara Tuhan) rupanya perlu kita beri tanda asterisks (Yunani kuno ‘asteriskos’ = bintang besar) besar. Jika tanda ‘*’ biasanya ditulis kecil sekali dengan keterangan di bawah ‘terms and conditions apply’. Artinya, suara rakyat adalah suara Tuhan dengan catatan jika rakyat berpikir, bersikap, bercakap dan bertindak sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, jangan ada yang mengklaim suara Tuhan secara sepihak. Merasa lebih rakyat ketimbang rakyat dan lebih tuhan ketimbang Tuhan sendiri yang gejalanya seperti fenomena gunung es yang sengaja diungkapkan ke publik secara masif dan sistematis.
Pernyataan Amien Rais di Sidang Ratna Sarumpaet
Dalam berita di detik.com yang berjudul “Yang Terungkap dari Kesaksian Amien Rais di Sidang Ratna”. Apa yang Amien Rais ungkapkan? “Saya bilang ini harus diangkat ke permukaan, ini penganiayaan tim pemenangan pilpres. Kemudian dia memang pas ditanya sudah lapor polisi belum? (Dia jawab) belum, kan memang nggak salah itu harus lapor dan sebaiknya lapor,” ujarnya. “Saya juga shock bagaimana mungkin seorang tokoh aktivis perempuan teraniaya terduga pelanggaran sehingga saya buru-buru mencari Prabowo,” tambahnya.
Yang menarik justru komentar yang saat saya baca berada di urutan teratas. “Ga mungkin amin nyuruh lapor polisi, kan dia ga percaya sm polisi, lebih percaya people power…” unggah Erwin Tri Wahana. (Jumat, 4-4-19).
Sebelumnya ramai diberitakan bahwa Amien Rais mengatakan bahwa jika terjadi pemilu kali ini, dia tidak akan membawanya ke MK melainkan mengajak konsituennya untuk melakukan people power.
Inspirasi People Power di Filipina
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kerusuhan Mei 1998 membuat Jakarta dan beberapa kota membara. Namun, bara Jakartalah yang paling besar. Kerusuhan itu diawali dengan krisis ekonomi dan politik selama sekitar satu tahun terakhir. Demonstrasi massa yang begitu masif yang dimotori mahasiswa sampai menduduki atap gedung DPR/MPR sehingga berhasil ‘memaksa’ Soeharto untuk lengser.
“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.” (Wikipedia)
Peristiwa itu kita kenal dengan gerakan reformasi yang menimbulkan banyak korban. Untuk menuliskan siapa saja korban kerusahan Mei saja saya tidak sanggup. Demikian juga menceritakan kembali penembakan para mahasiswa yang tidak saja kritis tetapi juga vokal membuat ketukan jari saya tersendat. Saat itu Amien Rais menjadi salah satu tokoh yang berada di garda terdepan.
Diskusi di kalangan mahasiswa dan akademika mengatakan bahwa gerakan reformasi di Indonesia bisa saja terpengaruh atau terinspirasi oleh Revolusi EDSA (Epifano de los Santos Avenue, nama jalan di Metro Manila) di Filipina. Meskipun sama-sama terjadi pengerahan massa dalam jumlah besar, namun jelas sekali perbedaannya.
Persamaannya adalah bahwa rakyat bergerak karena kekecewaannya terhadap pemerintah yang sedang berlangsung. Rakyat Filipina bergerak karena Ferdinand Marcos mulai menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri dan ingin terus berkuasa dengan mengandalkan segala cara, termasuk mengganti orang-orang KPU dengan anak buahnya sendiri dan menghilangkan hak pilih rakyat. Puncaknya terjadi saat Benigno “Ninoy” Aquino, Jr, ditembak mati di kepalanya persis saat kepulangannya dari pengobatan penyakit jantungnya di Amerika. Hari itu, 21 Agustus 1983, senator pro demokrasi itu menghembuskan nafas terakhir sebelum sempat berjumpa dengan pendukungnya. Tak ayal lagi, bara yang tersimpan baik-baik di dada rakyat Filipina seperti disiram bensin. Lebih dari dua juta rakyat mengiringi pemakamannya.
Corazon Aquino, sang istri, yang bersama suami menjadi penentang kebijakan pemerintahan Marcos, terus bergerak melakukan demonstrasi yang semakin lama semakin membesar. Mengapa? Karena didukung oleh dua kekuatan yang tak terbendung. Pertama dari Kardinal Jaime Sin yang dengan pengaruhnya yang luar biasa menggerakkan umat Katolik yang merupakan agama mayoritas di Filipina untuk mendukung Cory—demikian sebutan akrab Corazon. Kekuatan kedua berasal dari angkatan bersenjata. Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrille dan wakil staf angkatan bersenjata Fidel Ramos berada di belakang Cory. Sinergi antara ketiga kekuatan—politisi, rohaniwan dan angkatan bersenjata—inilah yang membuat Marcos turun dari jabatannya pada 25 Februari 1986 dan ngacir ke Hawaii setelah itu.
Perbedaan yang sangat mencolok antara people power di Filipina dan gerakan reformasi di Indonsia adalah dalam hal korban. Di Filipina berlangsung damai, bahkan dengan sorak-sorai, sedangkan di Indonesia diwarnai dengan kerusuhan berdarah dan penembakan demonstran yang masih membuat keluarga mereka meneteskan air mata.
People Power versi Amien Rais
Apa yang Amien Rais sebut sebagai people power? Ketua Dewan Kehormatan PAN ini adakan menggelar Apel Siaga 313 untuk mencegah kecurangan pemilu. “Kalau nanti terjadi kecurangan, kita nggak akan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Nggak ada gunanya, tapi kita people power, people power sah,” kata Amien di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/3/2019).
Tak ayal pernyataannya ini dikomentari mulai dari Cak Nun sampai Mahfud MD. Semua menyayangkan pernyataan ini keluar dari seorang tokoh yang dulu ikut mendukung adanya Mahkamah Konstitusi. Karena hiruk pikuk pernyataan yang kontroversial ini, Wiranto sampai mengatakan tidak mau berkomentar agar tidak semakin ribut. Pernyatan yang kita tunggu tentu dari KPU sendiri yang menjadi sasaran tembak Amien.
“Tidak bisa, dong. Ya kan jalurnya sudah diatur melalui Bawaslu, MK, dan DKPP. Itu jalurnya. (People power) Nggak akan mengubah hasil juga. Karena KPU nggak bisa ditekan-tekan juga untuk mengubah hasil. Kecuali kalau MK menetapkan, KPU berubah. People power apa pun nggak akan ngaruh juga,” ujar Komisioner KPU Pramono Ubaid di kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2019).
Belakangan, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN), Andre Rosiade, menjelaskan maksud Pak Amien Rais. “Jadi itu yang saya tegaskan people power-nya BPN dan Pak Amien. Kami mengajak pendukung untuk bersama-sama mengawal demokrasi kita agar bejalan secara sehat dan konstitusional,” kata pria asal Padang tersebut kepada awak media di Kertanegara, Jumat (19/4).
Bagaimana kata Amien Rais sendiri? “Jadi saya mengatakan people power yang paling enteng dan ringan yaitu rakyat punya senjata yang namanya HP, smartphone, itu senjata kita. Mudah-mudahan nanti cukuplah, tidak sampai turun ke jalan dan lain-lain,” kata Amien kepada detik.news, Rabu (17/4/2019).
Perlukah Turun ke Jalan?
Amien sendiri mengatakan tidak perlu turun ke jalan dan lain-lain. Apa arti lain-lain di situ masih belum jelas. Bisa jadi semua pengerahan massa. Mungkinkan terjadi people power ala Filipina? Saya rasa pengerahan massa seperti yang terjadi di negara tetangga tidak akan jalan. Mengapa?
Pertama, karena perbedaan sikon antara Indonesia dengan Filipina. Indonesia tidak sedang dalam kondisi krisis politik dan ekonomi. Kalaupun ada yang mendengung-dengungkan itu, biasanya reda sendiri karena jauh panggang dari api.
Kedua, tidak ada pemicu yang begitu menggetarkan dawai nurani rakyat. Pembunuhan Benigno “Ninoy” Aquino, Jr disusul Gubernur Evelio Javier yang merupakan sekutu Ninoy, membuat bom waktu yang tersimpan rapat-rapat di dada rakyat meledak.
Ketiga, pemilu sekarang benar-benar terlaksana dengan baik. Tingkat partsipasi masyarakat yang melebihi target (lebih dari 80%) benar-benar memantapkan keabsahannya.
Keempat, pemerintahan yang sekarang solid. Dukungan TNI dan Kapolri terhadap pemerintahan yang sah membuatnya tak gampang goyah. Dari berbagai survey, tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah saat ini masih tinggi.
Kelima, suara rakyat suara Tuhan harus dimaknai dengan benar. Suara Tuhan yang mana? Bukankah ada orang-orang yang merasa ‘lebih Tuhan’ ketimbang Tuhan sendiri? Suara Tuhan yang sah tidak mungkin bertentangan dengan Firman-Nya yang dibukukan dalam bentuk Kitab Suci. Bukan hati nurani yang dikotori dengan berbagai black campaigne, hate speech, hoax, fraud dan brain washing dari kubu mana pun.
Kuku kelingking kiri saya masih semburat ungu tanda bahwa saya sudah menyelesaikan tugas saya sebagai warga negara Indonesia. Arti ungu adalah keakraban dan rasa aman. Marilah kita kembali merajut tenun kebangsaan yang sempat sobek di sana-sini karena kepentingan pilpres dan pileg kali ini. Jangan sampai sakit pilek ditambah cegukan membuat kita terbaring sakit. Bukan kebetulan jika dua hari setelah coblosan adalah hari Jumat Agung dan hari minggunya adalah Minggu Paskah alias Kebangkitan. Mari kita bangkit kembali!
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.