Indovoices.com– Jerat yang dipasang di hutan masih merupakan ancaman yang dihadapi harimau Sumatra (Panthera tigris) di habitat alaminya. Keberhasilan penyelamatan harimau sumatera ini memerlukan sinergi dari semua komponen agar efektif.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, terutama desa-desa perbatasan hutan konservasi melalui program Kemitraan Konservasi untuk membangun kesepakatan bersama, agar seluruh desa-desa mendukung pengamanan hutan konservasi, termasuk pencegahan pemasangan jerat.
“Kami telah menginstruksikan secara tegas, agar setiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) pengelola kawasan konservasi semakin intensif melakukan kegiatan pengamanan kawasan dan sapu jerat, selain juga membangun kesadaran masyarakat, bekerja bersama masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk mewujudkan kawasan konservasi yang memiliki fungsi ekologis yang baik,” ujar Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Wiratno, dalam Gelar Wicara “Darurat Jerat: Jerat Sebagai Ancaman Utama dalam Konservasi Harimau Sumatera”, di Jakarta.
Ditjen KSDAE juga berkoordinasi dengan para penegak hukum melalui lembaga-lembaga hukum yang berwenang untuk melakukan penindakan tegas terhadap pemasang jerat ataupun yang menyuruh untuk melakukan pemasangan jerat. Selain itu, Wiratno mendorong pihak kepolisian untuk menertibkan penggunaan senjata angin, atau rakitan yang digunakan untuk melukai dan membunuh satwa di habitatnya.
“Penegakan hukum merupakan salah satu cara, dan harus ditujukan hingga aktor intelektualnya. Kesadaran masyarakat khususnya yang ada di sekitar hutan juga perlu ditumbuhkan. Upaya pencegahan lain kami lakukan melalui patroli pengawasan kawasan, yaitu SMART RBM (Spatial Monitoring and Reporting Tools – Resort Based Management),” tuturnya.
Keunggulan dari sistem ini adalah tim melakukan patroli selama 15 hari/bulan di dalam hutan (selama 12 bulan) untuk memasang camera trap, membersihkan jerat dan kejahatan kehutanan lainnya, selain merekam potensi dan menganalisis opsi-opsi tindakan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Penegakan Hukum LHK Rasio Ridho Sani menyampaikan bahwa pada tahun 2017 sampai dengan Juli 2019, aparat penegak hukum telah berhasil melakukan 536 operasi pengamanan/penangkapan terhadap pelaku peredaran ilegal satwa liar. Dari kasus tersebut, 797 pelaku berhasil diamankan dan 380 pelaku diantaranya telah dijatuhi vonis oleh hakim berupa hukuman penjara dan denda. Sedangkan, 104 kasus lainnya masih dalam tahap penyidikan dan proses persidangan.
Jika dilihat dari tipe kejahatan yang digunakan oleh para pelaku, 163 dari 536 kasus tersebut masih berupa perdagangan yang dilakukan secara konvensional. 155 kasus penyelundupan satwa dilakukan antar kota-provinsi-antar negara. Tipe kejahatan lainnya yang juga tidak kalah tinggi adalah perdagangan satwa liar illegal secara daring sebanyak 113 kasus.
“Kejahatan terhadap satwa yang dilindungi seperti harimau Sumatra ini sangat luar biasa. Untuk itu kami terus menguatkan intelijen serta kerja sama dengan para pihak baik di level nasional maupun internasional untuk mengungkap kejahatan ini. Terkait kejahatan terhadap harimau sumatera dengan menggunakan jerat ini, mari kita jerat pelakunya dengan hukum,” tegas Rasio Ridho Sani.
Ditjen Gakkum LHK bersama UPT Ditjen KSDAE juga akan melakukan operasi jerat di lansekap Sumatra, tahap pertama dilakukan di 5 (lima) lokasi yaitu kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, SM Giam Siak Kecil Bukit Batu–Riau, Ekosistem Bukit Tigapuluh Riau–Jambi, Taman Nasional Way Kambas, Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Provinsi Aceh.
Gelar Wicara kali ini juga menghadirkan narasumber dari Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, dan praktisi konservasi dari Wildlife Conservation Society-Indonesian Program (WCS-IP). Adapun peserta dan undangan yang hadir diantaranya Penasehat Senior Menteri LHK, Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama KLHK, Kepala UPT Ditjen KSDAE KLHK se-Sumatra, LSM/Forum, project, universitas, media, dan sektor swasta. (jpp)