Indovoices.com –Pemerintah akan kembali menempatkan dana pemerintah di perbankan guna mengakselerasi kredit UMKM dan korporasi. Kali ini, anggaran akan dikucurkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada bank pembangunan daerah dan bank syariah.
Dengan demikian, penempatan dana pemerintah sudah pada tahap ketiga. “Kemarin sudah Himbara dan BPD,” kata Sri Mulyani dalam konferensi virtual.
Direktur Jenderal Pembendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto menyebut tambahan dana akan ditempatkan pada empat BPD dan tiga bank syariah. Keempat BPD tersebut yaitu Bank Sumatera Utara, Bank Jambi, Bank Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, serta Bank Kalimantan Barat.
Sementara perbankan syariah yang akan mendapatkan dana pemerintah yaitu Bank Mandiri Syariah, BRI Syariah, BNI Syariah. “Sementara bank lain kami masih mengkonfirmasi dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai tingkat kesehatan dan kelayakannya,” ujar Andin dalam kesempatan yang sama.
Ketujuh bank tersebut memiliki kondisi likuiditas yang berbeda-beda. Berdasarkan laporan publikasi bank bulan Juli pada situs OJK, likuiditas BPD Sumut dan BPD Kalimantan Barat cukup longgar dengan rasio LDR masing-masing sebesar 89% dan 81,8%. Sedangkan kondisi likuiditas BPD Sulselbar dan BPD Jambi terpantau lebih ketat dengan rasio LDR masing-masing mencapai 105,8% dan 93,8%.
Sementara dua bank syariah berdasarkan laporan keuangan masing-masing bank mencatatkan kondisi likuiditas yang sangat longgar. BNI Syariah mencatatkan rasio pembiayaan dibandingkan simpanan atau FDR sebesar 71% dan BSM sebesar 74%. Di sisi lain, rasio FDR BRI syariah tercatat sebesar 91%.
Dia menyampaikan penambahan bank yang menerima dana pemerintah dilakukan karena program tersebut terbukti efektif. Hal ini berkaca dari penempatan dana di Himbara yang bagus untuk peningkatan produksi maupun pendapatan rumah tangga.
Adapun program penempatan dana pemerintah di Himbara sudah tiga bulan berjalan dan berakhir pada 25 September 2020. Andin menuturkan bahwa kebijakan tersebut akan diperpanjang.
Pemerintah mengalokasikan dana bantuan UMKM dalam program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 123,46 triliun. Bantuan diberikan dalam bentuk subsidi bunga Rp 35,28 triliun, penempatan dana untuk restrukturasi Rp 78,78 triliun, belanja IJPRp 5 triliun, penjaminan modal kerja Rp 1 triliun, PPh final UMKM DTP Rp 2,4 triliun, dan pembiayaan investasi kepada korporasi melalui LPDB KUMKM Rp 1 triliun.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai penempatan dana pemerintah di BPD kurang efektif karena banyak masyarakat yang lebih memilih mengajukan kredit kepada Himbara. Selain itu, likuiditas perbankan secara industri pun kini tengah longgar.
“Sebelum Covid saja BPD terbilang lembaga yang tidak terlalu efektif mendorong kredit, apalagi di masa seperti ini,” kata Fithra .
Adapun saat ini, menurut dia, yang dibutuhkan adalah kemudahan UMKM dalam mendapatkan likuiditas di perbankan. “Karena masih banyak UMKM yang kesulitas mendapatkan likuiditas itu karena banyaknya persyaratan dari bank,” ujar dia.
Bank Indonesia mencatat kondisi likuiditas perbankan melonggar di tengah restrukturisasi kredit besar-besaran yang dilakukan selama pandemi Covid-19. Perbankan hingga Agustus 2020 telah merestrukturisasi 18,64% dari total penyaluran kredit.
Gubernur BI Perry Warjyo sebelumnya menjelaskan longgarnya likuiditas terjadi karena pertumbuhan kredit masih terbatas. Selain akibat permintaan domestik yang lemah, bank berhati-hati dalam menyalurkan kredit seiring berlanjutnya pandemi Covid-19.
BI juga telah menambah likuiditas di perbankan sekitar Rp 662,1 triliun, terutama bersumber dari penurunan Giro Wajib Minimum sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 491,3 triliun hingga 15 September 2020. (msn)