“Trump lagi. Lagi-lagi Trump. Apa sih maunya orang ini?” Banyak orang yang menyoroti sikap, ucapan dan tindakan yang Trump lakukan saat menangani demo memperjuangkan kematian George Floyd. Tagar Black Lives Matter dan I Cant Breath bertebaran bukan hanya di Amerika, melainkan juga di Inggris dan Kanada. Sampai saya menulis artikel ini, demo masih marak. Apa memang kelakuan Trump membuat semua orang sakit hati? Tidak! Pasti ada orang yang berkata, “Yes!”
Pengamat politik mengatakan Trump menang karena memainkan sentimen ras. Bukankah kemenangannya atas Hillary Clinton dulu karena dia dipilih warga senior yang konservatif yang ingin tetap mempertahankan status quo? Bagi kalangan ini, supremasi kulit putih tetap dijunjung tinggi, berapa pun harganya. Siapa saja yang mengganggu kemapanan, harus dicegah, kalau perlu dihabisi. Strategi ini juga yang tampaknya Trump pakai untuk menang melawan rival utamanya Joe Biden, sehingga penanganan masalah terbunuhnya George Floyd terkesan kurang serius.
Panggung istimewa bagi Stand Up Comedy
Saat Amerika sedang digoyang demo tiap hari, saya bersama dua anak saya menonton stand up comedy cerdas. Kedua anak saya suka nonton Russell Peters, Trevor Noah dan Joe Wong. Mereka bertiga penentang rasisme. Russell Peters misalnya, adalah komedian berdarah campuran Kanada-India yang justru memakai ras sebagai joke yang menghibur dan mempersatukan. Trevor Noah, yang masuk dalam 100 Orang Paling Berpengaruh versi majalah Time, memakai humor untuk memperdengarkan suaranya, khususnya di The Daily Show, program berita satir yang ditayangkan di saluran TV Comedy Central. Yang ketiga, Joe Wong, memiliki perjalanan hidup yang unik-menarik. Dia adalah orang Korea yang lahir di Baishan, Jilin, China. Pemilik gelar master di Chinese Academy of Science dan Ph.D di bidang biochemistry di Rice University Texas ini, memulai kariernya di Stashs Comedy Jam di Boston.
Jika Russels dan Noah lihai sekali meniru dialek multietnis, Wong, cerdas dalam menilai kebijakan politik politisi. Inilah the voice yang dia suarakan dengan genre komedi yang membuat orang Amerika terpingkal-pingkal. Paling tidak, Joe Wong men-skak mat Trump dalam tiga bidang.
Pertama, kebijakannya terhadap imigran
Saat tampil di publik Amerika Serikat, Joe Wong memperkenalkan dirinya dengan cerdas, “I am actually an American immigrant. And they say that America is a country of immigrants. So I have to ask you guys, please leave my country. Im serius.” Dia serius, penonton ngakak. Masak orang Amerika diusir keluar oleh imigran? Saya percaya orang Afrika, Meksiko, Albania, Arab, China, Vietnam, India bertepuk tangan.
Joe Wong mengkritik kebijakan Trump yang tanpa kompromi, tanpa toleransi. “We have a zero-tolerance policy right now.” Karena jumlah imigran Asia khususnya yang bertumbuh sangat cepat, Trump kuatir. Apa yang dia cemaskan? Pendatang menguasai lahan di bidang apa pun, sehingga orang Amerika sendiri kalah. Saat bicara di AS, seorang teman memberitahu saya bahwa jumlah dokter India di Chicago melebihi warga lokal. Kebenarannya, saya tidak tahu.
Trump dikenal keras terhadap pendatang, sehingga untuk melindungi warga negaranya, orang nomor satu di AS ini membangun tembok. “Trump wants to build a wall to stop immigration. Im from China. So I know a lot about walls. They dont work. And since its later, its just going to become a huge tourist attraction,” ujar Joe Wong dengan senyum dikulum yang disambut tepuk tangan meriah dari audience.
Kedua, kebijakannya terhadap masalah kehidupan
Joe Wong benar, membangun tembok tidak efektif. Sejak dia menduduki Gedung Putrih, demo justru marak. Dengan cerdas Joe berkata, “But I do respect Trump, though, because after he took office, there was the K.K.K. March, anti K.K.K. March, Womens March, Anti-child Separation March, and you know how much Americans hate exercise.” Di satu sisi, dia menghormati Trump. Di sisi lain, dia menyindir dengan cara yang begitu halus namun menusuk jantung.
“He has contributed more to americans health than all of Y.M.C.A combined. And he also contributes to the health of other countries, because laughter is the best medicine. I mean you have seen his performance at he U.N.? He killed,” tambahnya yang membuat penonton pecah. Begitu lihainya Joe mempermainkan emosi penonton sehingga buru-buru menambahkan kalimat ini: “They were probably even better audience than you guys are. Just kidding. You’re great.”
Ketiga, kebijakannya terhadap ras
Gara-gara cara penangkapan George Floyd yang dinilai beringas dan terbukti membunuh warga kulit hitam itu, Amerika ambyar. “Pyar!” Pecahan demonya sampai ke negara lain. Demo membara di mana-mana, bahkan baranya sanggup membuat Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau ikut berlutut bersama para demonstran dalam kampanye “take the knee.”
Joe Wong lalu menceritakan kisah anaknya yang lahir dan sekolah di Amerika. Suatu hari, sepulang sekolah, sang putra cerita bahwa dia belajar American History. “Now I really feel bad for black people,” ujarnya bersimpati terhadap Afro-American. Ketika Joe Wong menanggapi, “Yeah, they’re really mistreated in American history,” sang anak buru-buru berkata, “Yeah, and Im so glad that I’m white.”
Karena merasa ada yang salah dari pemahaman anaknya, Wong berkata, “Hold on. Youre not white.” Tentu saja jawaban sang ayah membuat anak itu bingung. “What am I?” tanya sang anak yang dijawab tegas oleh Joe Wong, “You’re yellow.”
Di sinilah cerdasnya komedian ini. Siapa sebenarnya yang memberi cap warna di setiap kulit manusia? Pertanyaan itu diwakili dengan pernyataan cerdas sang anak, “Daddy, this doesn’t look yellow to me.” Inilah pukulan telak Wong terhadap Trump dan siapa saja yang rasis: “Yes, I know, but this is America and everybody has to have a color, and that’s the color they gave us. You better deal with it. But my son has a good point though. Nobody in America, especially a person of color, is exactly the color they are assigned, you know like. This is not exactly yellow. The color is brown. A black person is not exactly black. They’re kind of brown.”
Wong mengajarkan anaknya untuk belajar kearifan lokal dengan beradaptasi dengan penduduk asli. Joe Wong menutup stand up-nya dengan manis: “So, white people, dont feel left out. I have a lot of things in common with white guys. For example, I have an asian wife.”
Semua tertawa. Semua happy sambil berkata,”Mr. Trump, kami butuh jembatan, bukan tembok!” Kemanusiaan menjadi pemenang saat komik Joe Wong menabung gong. Saya berharap gong Wong tetap bergaung menggemakan hidup persaudaraan antar sesama manusia, bukan hanya di panggung stand up comedy.
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.
Video Komedi Joey Wong