Pasca demo rusuh yang terjadi pada tanggal 21-22 Mei 2019 beberapa waktu yang lalu ternyata tidak mampu menurunkan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata dunia. Hal ini setidaknya tercermin dari dua berita yang saya baca kemarin.
Yang pertama adalah berita dari media bergengsi, Reuters tanggal 31 Mei 2019. Reuters dalam beritanya melansir lembaga pemeringkat dunia Standard & Poor’s (S&P) yang menaikan peringkat kredit negara Indonesia menjadi ‘BBB’. Kenaikan peringkat ini didasarkan atas prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat di Indonesia serta dinamika kebijakan yang mendukung. Peringkat berdaulat S&P sebelumnya untuk negara Indonesia adalah ‘BBB-‘. Artinya kondisi perekonomian Indonesia yang sebelumnya dianggap “cukup memuaskan” menjadi “memuaskan”.
Selain itu S&P juga menaikkan peringkat Indonesia dalam hal kredit negara jangka pendek dari yang sebelumnya ‘A-3’ menjadi ‘A-2’ yang mengandung makna meningkatnya kepuasan dan kepercayaan kreditur terhadap kapasitas Indonesia dalam pemenuhan kewajibannya.
S&P juga menyebutkan bila peringkat Indonesia di masa depan dapat naik lagi dari posisi saat ini, terutama jika pengaturan fiskal semakin membaik dalam dua tahun ke depan, katanya.
“Kami menaikkan peringkat untuk mencerminkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan dinamika kebijakan yang mendukung, yang kami harapkan akan tetap mengikuti berkat terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo baru-baru ini,” kata S&P.
Peningkatan peringkat ini akan menjadi kesempatan bagi Jokowi, yang berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan dan memperluas dorongan infrastruktur yang ambisius dengan perkiraan akan menelan biaya lebih dari $ 400 miliar pada periode keduanya.
Peningkatan peringkat juga dapat berarti peluang bagi upaya Indonesia di tengah-tengah dampak gempuran perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, untuk menarik investor asing guna menanamkan investasinya di Indonesia.
Sedangkan berita kedua, juga muncul di hari yang sama, tanggal 31 Mei 2019. Berita ini menyebutkan bila Lembaga riset yang berbasis di Swiss, IMD World Competitiveness Center yang mencatat bahwa daya saing Indonesia melesat 11 peringkat tahun ini menjadi peringkat 32 dari sebelumnya tahun 2018 berada di peringkat 43 dunia.
Kenaikan peringkat ini didasarkan atas fokus pemerintahan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur selama lima tahun terakhir ini. Di mana dampak pembangunannya sendiri sudah mulai dirasakan beberapa tahun terakhir ini. Salah satunya yang dapat kita contohkan adalah kemacetan yang sudah jauh berkurang terutama menjelang mudik, berkat jalan tol yang terus dikebut penyelesaiannya oleh Jokowi.
Efeknya, peningkatan daya saing Indonesia pun mengalami kenaikkan tahun ini berdasarkan atas empat indikator utama yang diukur yaitu kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia bahkan disebut menjadi yang terbesar di regional Asia Pasifik. Dalam hasil riset tersebut, peningkatan daya saing disebabkan efisiensi di sektor pemerintahan, demikian halnya kemajuan dalam ketersediaan infrastruktur dan iklim bisnis.
“Meskipun masih di bawah Malaysia (peringkat 22) dan Thailand (peringkat 25), daya saing Indonesia diyakini akan terus meningkat. Namun apabila stok infrastruktur kita stagnan, maka daya tarik investasi kita akan kalah dibandingkan negara tetangga,” kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Jumat 31 Mei 2019.
Basuki mengatakan, pembangunan infrastruktur menjadi pilihan logis dan strategis semata-mata untuk meningkatkan daya saing Indonesia sekaligus untuk mengejar ketertinggalan.
Terlebih Indonesia sempat mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada penundaan dan penghentian pembangunan dan pemeliharan infrastruktur. Oleh karenanya, sejak tahun 2015 pemerintah mengalihkan belanja subsidi menjadi belanja produktif berupa pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Namun demikian, dampak kebijakan pembangunan infrastruktur tidak dapat dirasakan dalam jangka pendek. “Untuk itu kita banyak membangun infrastruktur di Papua, Papua Barat, NTT dan kawasan perbatasan,” ujarnya
Bila kita melihat dua berita di atas lalu membandingkannya dengan respon dari sebagian masyarakat Indonesia. Maka kita akan melihat sebuah ironi di mana banyak lembaga internasional mengapresiasi langkah ekonomi Jokowi yang dianggap sudah berada di jalur yang tepat. Sementara di sisi lain upaya Jokowi untuk membawa kemajuan di Indonesia, malah mendapat celaan dan hambatan oleh sebagian rakyatnya sendiri.
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri,” mungkin kita cukup familiar dengan kata-kata ini. Inilah kata-kata yang pernah disampaikan oleh Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.
Walaupun disampaikan ke seluruh rakyat Indonesia, namun kata-kata itu seakan-akan merupakan pesan pribadi dari Soekarno kepada Jokowi untuk mengingatkan betapa beratnya perjuangan yang harus dilaluinya. Dua sosok yang tidak pernah bertemu namun pesannya menembus sekat ruang dan waktu.
Bisa jadi karena Soekarno sudah melihat tanda-tanda bagaimana bangsa ini memiliki tabiat yang tidak biasa. Begitu gampang diprovokasi oleh hal-hal yang berbalut agama oleh kelompok-kelompok yang ingin memecah belah negeri ini. Begitu mudah dihasut oleh elit-elit politik untuk kepentingan dan ambisi pribadi mereka. Bukan hanya itu saja, kebanyakan masih bermental penghujat. Sulit memberikan kritik dengan tata cara yang baik dan memberikan kontribusi untuk membantu lancarnya pemerintahan dan pembangunan di negeri ini.
Di periode kedua, beban Jokowi akan jauh lebih berat dari yang pertama. Di periode pertama, Jokowi fokus membangun infrastruktur, berhadapan dengan benda mati. Namun di periode kedua, Jokowi berhadapan dengan sikap mental manusia Indonesia itu sendiri.
Beban berat Jokowi baru saja di mulai di periode keduanya ini. Akankah dirinya mampu merubah mental bangsa ini dan membawa Indonesia lebih maju lagi lima tahun berikutnya? Memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi juga tidak mustahil, Semoga saja.