Indovoices.com-Tulisan ini saya sampaikan ke Toba secara khusus, karena gamang melihat situasi ini.
Ketika Presiden Jokowi mengumumkan social distancing, yang isinya berdiam di rumah dan jaga jarak jika berjumpa, saya mendengar ada orang meninggal di Jakarta. Mayatnya akan dikirim ke Toba. Meninggal karena kanker. Sudah lama menderita kanker.
Loh, kok social distancing masih mengirim mayat dikubur di Toba?. Itu tidak benar, kataku ke keluarga yang meninggal di Toba. Iyah, bagaimanalah, sudah pesan almarhum harus dikubur di Toba.
Kalau begitu, tak usah bersalaman iya. Iya, jawab sahabatku itu. Jakarta itu episentrum COVID 19. Kawanku ini sudah komitmen tidak mau salaman. Ketika kawanku ini sudah komitmen, dia ajak satu mobil komitmen ketika menuju bandara Silangit menjemput mayat keluarganya.
Ketika jumpa di bandara Silangit, seluruh saudaranya dari Jakarta menangis dan memeluk seluruh satu mobil yang sudah komitmen tadi ikut berpelukan dan menangis.
Mengapa tidak taat kepada komitmen?. Keluarga dari Jakarta itu dokter. Dia lebih taulah, kata kawanku itu. Seorang pendeta juga meminta salaman dengan meyakinkan, tak perlu takut, karena pasti saya tidak terkena Corona, kata pendeta sambil bercanda. Puji Tuhan, itu kejadian yang sudah cukup lama. Artinya, aman. Itu cerita di awal Social distancing. Saya menceritakan itu untuk tujuan evaluasi bagi kita.
Jujurlah kita, kebiasaan kita memang tidak siap menghadapi COVID 19. Budaya kita yang salaman, cipika cipiki, berpelukan, suka bercanda yang tidak pas adalah habitus kita dalam keseharian.
Kini kita harus sadar, kita tidak siap dari aspek manapun. Aspek kebiasaan hidup seharihari, kesiapan pemerintah, kesiapan rumah sakit sangat tidak siap. Karena itu, suka tidak suka, siap atau tidak siap, semua kita harus secara bersama harus siap. Jangan lengah.
Sikap kita yang lengah, resikonya sangat mengerikan. Pemerintah, biasanya mengatasi kepanikan karena potensi penjarahan makanan dan mengumpul makanan maka resikonya ada kelaparan di kota. Kalau di Toba, sumber daya alam kita mencukupi. Asal tifak ada yang serakah. Petani kita makin berdaya karena hasil pertanian akan laku. Kalau di kota, pasukan makanan terhenti dari desa akan ada potensi kekurangan. Kalau di Toba, potensi kekurangan rendah. Semua tersedia di alam. Pola makan saja yang akan berubah.
Jadi, Toba tidak perlu kuatir. Masyarakat Toba hanya mengubah paradigma berpikir. Jika semua kita jaga jarak dan makan yang cukup, COVID 19 terputus. Hanya, kita suka lengah. Canda kita kadang tak bermakna.
Sikap lengah kita merupakan ancaman paling utama. Karena itu, kita belajar untuk tidak lengah. Pergi ke ladang bagi orang desa asal disiplin sangat baik. Tetapi ingat, disiplin.
Ayo, Toba, semangat dan bersama melawan COVID 19 dengan disiplin.
#GURMANPUNYACERITA