Terlahir dengan nama Yohanes Suparyanto Raharjo. Jalan hidupnya tergolong penuh aneka warna. Meskipun “warna” menjadi orang kaya materi menjadi satu golongan yang belum dijalaninya.
“Kaya materi itu kan absurd, aku punya motor sendiri saja bisa merasa lebih kaya dari mereka hanya punya sepeda to?” katanya dalam sebuah obrolan ngalor ngidul di angkringan.
Namanya kemudian sedikit “dipermak” selepas anak-anak dan kemudian terjun di dunia kesenian. Orang-orang lebih akrab menyebut Ojing Johanes sebagai alias. Dan dia setuju merubah namanya meski tanpa selamatan bubur merah putih khas tradisi Jawa, leluhurnya.
Bapak dan kakeknya dulu seorang seniman musik tradisional Jawa. Ojing mengaku “mencuri” ilmu seni dari melihat keduanya, kemudian mencobanya diam-diam dan akhirnya justru memilih seni peran sebagai pilihan hidupnya. Perjalanan hidupnya termasuk kental dengan perjuangan, bergayung dengan keberuntungan pada setiap simpulnya.
Bekerja di pabrik sepatu, menjadi buruh di Tangerang salah satu simpul yang pernah dijalaninya. Karakter kesenimanannya semakin tumbuh di lingkungan normatif. Aktif di Teater Buruh Tangerang semakin membulatkan cita citanya sebagai aktor seni peran. Bukan hanya darah, sumsum tulangnya beraroma seni.
“Awalnya saya minder kalau ketemu dan diskusi dengan seniman, aktor-aktor senior. Saya tahu diri kalau sedang belajar. Tapi lama-lama jadi biasa. Kepercayaan diri itu sugestif, datangnya dari diri sendiri. Sepanjang kita tidak sedang bermasalah dengan apa yang kita jalani, seharusnya urusan percaya diri itu sudah selesai” jelasnya sambil ngakak cempreng suaranya.
Klaten-Yogya dipilihnya sebagai tempat melanjutkan aktifitas kesenimanannya selepas memutuskan keluar dari pabrik sepatu di Tangerang. Magnet Pendopo Asdrafi Yogyakarta menarik Ojing untuk berproses lebih dalam menjadi aktor. Pendopo Sompilan yang konon kabarnya pernah melahirkan aktor dan sutradara terkenal, dipilihnya sebagai tempat berguru.
Sama seperti pendahulunya yang sempat “singgah” di Kampus Asdrafi, Ojing lebih bangga pada proses interaksi bersama komunitas di dalamnya daripada menenteng ijasah kelulusan dan kartu mahasiswa yang didapatnya.
“Anggap saja dulu saya bayar kuliah untuk bantu uang kebersihan dan bayar tranportasi dosen pengajarnya. Ilmu seni peran saya olah sendiri bersama kawan kawan senasib” tandasnya saat mengenang masa-masa tahun 2000-2005
Ojing yang tidak pernah malu mengakui pernah berprofesi sebagai tukang sol sepatu sambil berkesenian. Pengalaman di pabrik sepatu menjadi penyelamat urusan ekonominya di masa bujangan. Penulis pernah menemukan dia berjalan sendiri keluar dari sebuah gang. Berpakaian surjan celana jeans kumal, namun bersepatu tentara. Tentengan tas plastik dibawanya berisi sepatu yang siap diantar ke pemiliknya usai diperbaiki.
Tidak ada selembar rasa minder-pun waktu menyapa kami yang justru sedang duduk nganggur kongkow-kongkow sambil ngopi ngrokok. Itulah arti dia percaya diri dan merasa tidak bermasalah dengan apa yang dilakukannya.
Keberuntungan paling fenomenal terjadi saat dia dipercaya menjadi pemeran utama sebuah film dokudrama. Dalam film berjudul “Sang Manyar, Nyanyian Pinggir Kali” Ojing sukses memerankan peran sakral menjadi Romo Mangun. Kemiripan wajah dan gesture seorang pejuang kemanusiaan didukung keaktoran, mendapat banyak pujian. Romo Mangun seolah hidup lagi, bukan lagi mirip Romo Mangun.
Ojing tetap dengan kepercayaan diri yang tahu diri. Usai membintangi film besar dia masih bersedia bermain di beberapa film pendek YouTube dengan bayaran “uang bensin”. Aktor lokal berjiwa besar pantas divoniskan untuknya pada tulisan ini. Yang paling merinding saat dia berkisah tentang keluarganya.
Tradisi kekeluargaan begitu mengakar dari lahir hingga meninggal. Mulai dari kakeknya yang Kejawen, pamannya yang di Bandung meninggal kecelakaan kereta, hingga ibunya. Ketiganya bertumpuk dalam satu liang kuburan atas kesepakatan keluarga.
Dan Ojing berpesan seandainya dia kelak menyusul, ingin berkumpul dimakamkan bersama mereka di bagian paling atas.
Poya ho ho, nyothe gedhadhe pahin, dab