Indovoices.com –Pancasila dinilai tak bisa diarahkan ke multi interpretasi. Jika itu dilakukan maka muncul potensi mispersepsi.
“Kita harus bedakan ketika Pancasila itu kapan sebagai satu interpretasi ideologis dan kapan dia menjadi rumusan normatif. Karena begitu jadi rumusan norma tidak boleh multi interpretasi,” kata mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latief dalam diskusi virtual bedah buku ‘Wawasan Pancasila’, Minggu, 2 Agustus 2020.
Dalam buku karangannya tersebut, Yudi membeberkan historis Pancasila di masa lalu. Isi buku tersebut diharapkan menjawab kekisruhan dalam tafsir Pancasila dan merespon Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebagai isu aktual.
Menurut dia, Pancasila sejatinya telah dijaga serta diimplementasikan seutuhnya oleh masyarakat sendiri. Artinya nilai-nilai yang terkandung di Pancasila tak pernah luntur dan membuat rusak negara.
Meski ada pemahaman yang berbeda di masyarakat, ia meyakini, imajinasi Pancasila masih melekat. Saat ini hanya diperlukan penguatan implementasi nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
“Kalau Pancasila tidak ada kita ini sudah gerogot, tapi bangsa ini masih bertahan,” ujar Yudi.
Pakar militer dan pertahanan Connie Rahakundini Bakrie mengamini bahwa Pancasila hadir lebih dulu untuk menyelaraskan urusan negara. Bahkan urusan konsitusi hadir setelah Pancasila. Menurut dia, ideologi itu harusnya mengendalikan negara.
“Kalau Pancasila hanya dimaknai sebagai ideologi semata, slogan keyakinan, tapi tidak mampu menggariskan fungsi kemampuan negara. Kita harus bertanya ada apa,” ucap Connie.(msn)