Kata ‘otopsi’ atau ‘autopsi’ sedang ngetop karena dipicu dengan cukup banyaknya anggota KPPS yang meninggal dunia. Lebih diperbesar lagi karena ulah seorang dokter yang menduga kematian mereka ada apa-apanya. Bisa saja ada orang kritis yang balas bertanya, apakah diagnosanya itu ada apa-apanya juga?
Benarkah mereka meninggal karena kelelahan? Itulah ‘ada apa-apa’ yang ramai digoreng. Mereka dianggap meninggal karena tekanan pihak tertentu. Jika kita berpikir jernih, tekanan itu bisa datang dari kubu mana pun. Mereka diduga dipaksa untuk memenangkan kubu tertentu. Sebaliknya, bisa juga mereka mengalami tekanan dari kubu yang kalah yang tidak siap menerima kekalahan berdasarkan angka quick count dari berbagai lembaga survey dan real count dari KPU yang setiap hari kita bisa lihat up date-nya.
Kalau kita berpikir lebih jernih lagi, toh hasil resmi menang-kalah itu ada di tangan KPU dan proses perhitungannya masih berlangsung. Jadi, ketimbang menggoreng sekarang, mengapa tidak menunggu pengumuman KPU? Bukankan gorengan kita sudah dingin saat KPU mengumumkan hasilnya? Atau memang ada pihak tertentu yang menggoreng apa pun agar Indonesia menjadi hangus?
Kembali ke kata ‘otopsi’. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang artinya ‘melihat dengan mata sendiri’. Artinya, cek dan recek. Bukan menurut apa kata orang. Pernah dengar lagu ini?
Bintang kecil, katanya katanya.
Di langit yang tinggi, katanya katanya.
Amat banyak, katanya katanya.
Menghias angkasa, katanya katanya.
Lagu anak-anak yang liriknya diplesetkan ini sebenarnya bukan untuk menggambarkan anak tunanetra—siapa yang mati nuraninya sehingga mengolok anak yang mengalami gangguan penglihatan?—melainkan ditujukan bagi dewasa yang meskipun melihat namun buta. ‘Penyakit’ ini jauh lebih mengerikan. Mereka percaya hanya berdasarkan apa kata orang.
Artinya, mereka tidak mau ‘melihat dengan mata sendiri’ dan memilih untuk membutakan diri terhadap kenyataan. Di salah satu meme yang banyak beredar di medsos, ada gambar yang cukup membuka mata kita terhadap keadaan sekitar kita. Digambarkan dalam meme itu anak-anak sedang belajar di kelas dan ada caption begini: “Satu pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah: Berani menerima kenyataan.”
Selain budi pekerti, pelajaran ini amat penting sehingga anak-anak diharapkan kuat saat menghadapi kenyataan yang paling pahit sekalipun. Ketahanan mental semacam ini perlu sekali, terutama bagi para pemimpin. Saat tugas bicara di Australia, saya mendengar ada seorang mahasiswi yang bunuh diri karena cintanya ditolak. Dari kabar yang saya dengar ternyata sejak kecil mahasiswi ini tidak pernah mendengar kata, “Tidak!” dari orang tuanya. Ortunya berasal dari kalangan berada sehingga apa pun yang diinginkan anaknya mereka turuti. Akibatnya sungguh fatal. Sekali ditolak, dia tidak bisa menerima kenyataan dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. Meskipun sangat menyedihkan, namun jauh lebih mengerikan jika ternyata gadis ini tidak siap mengalami penolakan dan membunuh cowok yang dicintainya.
Kita bisa menyaksikan gambaran ini dari kisah para bocah yang mengejar layang-layang yang putus. Ada bocah mbeling tertentu yang saat kalah dalam mendapatkan layang-layang putus itu, mendekati temannya yang mendapatkannya dan merobek layang-layang itu. “Jika aku tidak bisa mendapatkannya, kamu pun tidak boleh memilikinya!” begitu teriakan egois yang muncrat dari hatinya yang telah terkontaminasi oleh ‘virus’ iri hati dan kedengkian.
Bukankah hal yang sama sedang kita saksikan di tanah air? Di bulan puasa ini, marilah kita bersama-sama menahan diri agar telaga batin kita kembali jernih. Di dalam suasana hening dan hati nurani menjadi bening, kita bisa berpikir, bersikap, berbicara dan bertindak bijaksana dan bijak sini. Jangan hanya mengharapkan orang lain bijaksana jika kita sendiri tidak bijak sini. ‘Otopsi’ hati nurani perlu kita lakukan.
Seperti lagu ‘Bintang Kecil’, hati nurani anak-anak pada umumnya memang lebih jujur ketimbang kita orang dewasa karena belum dicemari polusi lingkungan. Orang yang saleh pun bisa jadi salah jika dibisiki terus-menerus oleh setan. Apakah ini yang disebut ‘setan gundul’ oleh Andi Arief?
Bocah dengan hati nurani yang masih murni justru bisa menjadi cermin bagi kita orang dewasa. Di dalam sebuah pertandingan balap mobil remote control, seorang bocah tampak khusuk berdoa. Setelah selesai berdoa, seorang teman di sampingnya bertanya, “Apakah kamu berdoa agar menang?”
“Oh tidak,” jawab bocah yang ditanya, “aku berdoa agar tidak menangis saat kalah.”
So nice!
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.