Indovoices.com-Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memaparkan cara optimalisasi penerimaan 2020. Salah satunya dengan menggolkan penerapan Omnibus Law Perpajakan yang sudah masuk ke DPR tanggal 31 Januari 2020 silam.
Omnibus Law Perpajakan terdiri dari 6 pilar, yaitu pertama meningkatkan pendanaan investasi. Kedua, sistem teritori untuk penghasilan luar negeri. Ketiga, penentuan sumber pajak orang pribadi. Keempat, mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela. Kelima, menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri. Keenam, pengaturan fasilitas dalam UU Perpajakan.
Dalam pilar pertama, untuk meningkatkan pendanaan investasi pemerintah akan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) yang diturunkan bertahap dari 22% di tahun 2021 dan 2022 menjadi 20% untuk tahun 2023 dan seterusnya. Kemudian, tarif PPh Badan Wajib Pajak yang Go Public akan dikurangi lagi sebesar 3% dari tarif umum. Selanjutnya, PPh akan dihapus dari dividen dalam negeri, dan tarif PPh Pasal 26 atas bunga akan disesuaikan.
“Pajak yang ditarik akan dikembalikan kepada dunia usaha untuk menggerakkan ekonomi,” kata Direktur Jenderal (Dirjen Pajak) Suryo Utomo.
Namun, dampak pengurangan tarif ini diperkirakan akan menyusutkan penerimaan hingga Rp80 triliun. Akan tetapi hal itu dapat dimitigasi dengan perluasan basis pajak dari ekstensifikasi dan intensifikasi pajak.
“Penerimaan berkurang (Rp80 triliun) tapi untuk menggerakkan ekonomi. Mitigasinya dengan perluasan basis pajak baik ekstensifikasi maupun intensifikasi,” tambah Dirjen Pajak Suryo Utomo.
Pada pilar kedua, mengenai sistem teritori untuk penghasilan luar negeri, pemerintah merencanakan penghasilan tertentu termasuk dividen dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia. Kemudian penghasilan Warga Negara Asing (WNA) yang Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) hanya dikenakan PPh atas penghasilannya di Indonesia.
Pada pilar ketiga, penentuan Subjek Pajak Orang Pribadi yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) (diaspora) yang tinggal selama kurang dari 183 hari di Indonesia atau lebih dari 183 hari di luar negeri dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Sedangkan WNA yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, maka dia menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN).
Pada pilar keempat untuk mendorong kepatuhan WP dan Wajib Bayar secara sukarela, pemerintah akan merelaksasi hak pengkreditan pajak masukan bagi Penguasaha Kena Pajak (PKP). Selain itu, pemerintah akan mengatur ulang sanksi administrasi dari pajak, pabean, dan cukai serta imbalan bunga.
Pengaturan ulang terhadap sanksi administrasi tentu akan meringankan para pelaku usaha agar industrinya tidak mati.
“Kalau denda penalti 10 kali lipat, kalau bendanya salah (benda kena pabean), itu akan langsung mematikan industri itu sendiri,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Bea Cukai Heru Pambudi.
Pilar kelima, untuk menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri, pemerintah melakukan pemajakan transaksi elektronik dengan menunjuk platform memungut PPN, kemudian pajak dikenakan pada Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) atas transaksi elektronik di Indonesia.
Selain itu, pemerintah akan merasionalisasi Pajak Daerah dengan menetapkan tarif Pajak Daerah yang berlaku nasional. Kemudian, mengevaluasi Peraturan Daerah (Perda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) terhadap kebijakan fiskal nasional.
“Pemerintah mencari keseimbangan antara mendorong investasi dan mendorong penerimaan dari pajak. Tarif pajak yang dianggap mengganggu investasi misalnya satu daerah mengenakan pajak penggunaan air tanah. Dari cara menghitung basisnya jadi mirip royalti. Padahal perusahan tersebut sudah membayar royalti. Kita akan melihat lagi evaluasinya seperti apa. Kita akan melihat Perda yang sudah ada. Tidak hanya tarif, tapi basis dan cara pengenaan. Lebih kepada harmonisasi,” kata Dirjen Perimbangan Keuangan (Dirjen PK) Prima Astera.
Pada klaster ini, relaksasi juga dilakukan pada jenis barang kena cukai.
Pilar keenam, pengaturan fasilitas dalam UU Perpajakan, pemerintah akan memberikan tax holiday, super deduction, fasilitas PPh untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), PPh untuk Surat Berharga Negara (SBN) , dan keringanan / pembebasan Pajak Daerah oleh Kepala Daerah.
Dalam Omnibus Law Perpajakan ini, UU yang terdampak adalah UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU Kepabeanan, UU Cukai, UU PDRD, dan UU Pemda. (kemenkeu)