Indovoices.com- Kamis 12 September 2019 siang hari, saya berada di bandara Silangit bersama pengacara Edwin Zaman Manurung, SH. Edwin itu ayahnya sagat lama dekat dengaku. Ketika aku SD, SMP hingga SMA kerbau kami dan kerbaunya satu tempat. Edwin tau cerita itu ketika dia sudah menjadi pengacara. Ketika ayahnya mengantar uang bulanan Edwin ke kantor pos, sayalah yang menjaga kerbaunya. Ketika itu Edwin kuliah hukum di Jakarta. Jadi, sejarah itu membuat kami akrab.
Ketika kami minum kopi di Silangit, saya lihat di face book (fb) bahwa ada ibu-ibu di Sigapiton melakukan aksi menyingsingkan baju untuk berjuang. Melihat itu, saya gelisah. Saya telpon aktivis Suryati Simanjuntak. Suryati Simanjuntak mengatakan dia pun kaget. Karena kami sama sama kaget kami janjian akan menuju lokasi. Saya dan Edwin meluncur ke lokasi. Kami berdiskusi di lokasi. Surayati Simanjuntak berbisik ke saya karena belum makan malam. Kami belakangan pulan karena banyak diskusi dengan masyarakat Sigapiton. Mereka mengatakan bahwa besok pagi jam 7.00 WIB akan ada aksi.
Setelah larut malam, saya dan Edwin, Ingot Simatupang pulang. Saya tawarkan bagaimana kalau kita pulang ke Parapat saja. Karena lebih dekat. Edwin tidak setuju karena tidak bawa baju ganti.
Pagi hari, saya berangkat ke Sigapiton bersama sahbat saya Alex Siagian. Di lokasi sudah kumpul masyarakat Sigapiton. Mereka berdoa yang dipimpin warga yang dipimpin seorang laki-laki. Mereka menangis. Saya ikut mwneteskan air mata. Alex sempat mengejek saya, bisa juga abang mennagis. Saya susah menangis. Bagaimana tidak menangis melihat mereka yang usia 85 tahun, 80 tahun, 75 tahun , 70 tahun berdoa meminta kuasa Tuhan?. Mereka tak berdaya tapi harus melawan. Mereka melawan kekuasaan yang diwakili Polisi, pamong praja, tentara, buldoser. Dalam realitanya tentara hadir disukai rakyat. Tentara sangat cerdas bersikap. Rakyat menyukainya. Tidak seperti polisi yang tidak bisa bicara sopan dan elegan. Ini masukan kepada polisi agar tetap sopan dalam kondisi apapun.
Setelah berdoa, mereka duduk di depan escapator hingga siang hari. Siang hari ketika penduduk Sigapiton makan, buldoser, pamong praja, polisi bergerak. Adu mulut sahabat saya Delima Silalahi dengan polisi. Delima Silalahi marah karena bergerak ketika rakyat Sigapiton masih makan. Mereka masih makan, teriaknya menggelegar. Delima sangat marah.
Ketika buldoser, polisi, pamong praja bergerak, mereka bernyanyi. Mereka menyanyikan lagu rohani dan lagu-lagu perjuangan. Banyak diantara mereka menyanyi dengan fals dan tidak hafal. Tetapi lagu-lagu itulah kekuatan mereka. Mereka sangat kuat sekali. Teriak, bernyayi, menangis. Tiga kata inilah berulangulang. Menangis, teriak, bernyanyi.
Berulangkali buldoser mundur karena menghadapi teriak, menangis dan bernyayi. Hingga 2 buldoser pulang. Buldoser pulang, mereka menyanyikan lagu, “mauliate ma di Ho O Debata ala basaM”. Mereka bersuka cita atas kepulangan buldoser itu.
Tidak lama kemudia, pendeta Ahab Tambun hadir. Saya mendekatinya dan menceritakan bahwa,”menarik bagi saya rakyat Sigapiton, betapa dahsyatnya lagu rohani bagi mereka”. Pendeta Ahab Tambun dulu pendeta mereka.
Lagu itu fals bahkan sering salah dinyanyikan, tapi lagu rohani itu telah menguatkan mereka. Saya melihat ketulusan hati mereka untuk menyanyi. (gurgur manurung)
#gurgurmanurungpunyacerita