Indovoices.com– Jika padaku ditanyakan apa akan kub’ritakan pada dunia yang penuh penderitaan ‘kan kusampaikan kabar baik, pada orang-orang miskin, pembebasan bagi orang yang ditawan, yang buta dapat penglihatan, yang tertindas dibebaskan; sungguh tahun rahmat sudah tiba. Allah penuh kurnia itu berita bagi isi dunia (Kidung Jemaat 432).
Lagu ini adalah lagu yang mendorong saya hadir bersama 6 orang anak-anak Ompung Saulina dan Ompung Saulina terpidana tanpa kesalahan apapun di Panamean. Sampai sekarang, saya masih bingung mencari alasan mereka terpidana ketika itu.
Kini lagu ini, muncul lagi di benakku. Karena itu lagu ini kupersembahkkan kepada sahabatku Delima Silalahi Suryati Simanjuntak, Roky, Ramlan Tampubolon, Rindu putra Dairi dan seluruh kawan kawan yang hadir di tengah rakyat Sigapiton. Salam kagumku atas kehadiran kawan-kawan di tengah rakyat Sigapiton. Mereka hadir atas ketulusan dan panggilan hidup.
Apakah rakyat Sigapton orang yang ditawan?, jawaban saya iya. Mengapa?. Mereka hidup ratusan tahun di Sigapiton. Mereka berharap negara membantu mereka untuk menjaga tanah ulayatnya untuk hidup mereka. Realitanya, tanah mereka diserahkan ke negara untuk dikonservasi agar air mengalir dengan baik dari gunung itu. Tanah mereka itu dijadikan hutan Lindung yang dikenal dengan SK 579. Hutan lindung diubah menjadi Area Penggunaan Lain yang langsung diberikan kepada Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT). Rakyat Sigapiton kaget. Kenapa?. Tanah nenek moyang kami itu kami serahkan ke negara untuk konservasi. Tujuaanya agar air kehidupan kami lancar. Kalaupun harus diubah, mengapa kami diabaikan?.
Negara mengajarkan anak-anak di sekolah belajar sejarah. Mengapa kini sejarah rakyat Sigapiton diberangus?. Kami rela mati untuk sejarah tanah nenek moyang kami. Muncullah konflik.
Ketika muncul konflik, BPODT membawa kekuatan negara yaitu polisi, pamong praja, tentara, dan buldoser. Rakyat Sigapiton yang banyak usianya uzur panik. Karena panik, mereka telanjang. Apa makna telanjang itu?. Bagi saya kejadian inilah disebut tragedi. Tragedi Sigapiton. Tragedi inilah yang membuat saya lari ke tempat kejadian. Janjian dengan Suryati Simanjuntak. Apa yang terjadi?. Mengapa bisa terjadi?.
Tragedi itu tanggal 12 September. Besoknya 13 September saya hadir dan melihat ganasnya polisi, pamong praja bersama buldoser. Rakyat Sigapiton melawan. Semua berurai air mata. Tuhan menolong rakyat Sigapiton.
Tanggal 13 September 2019 sore hari, Kapolres Tobasa, direktur BPODT, Bupati Tobasa hadir. Mereka sepakat akan berbicara bersama tanggal 15 September. Tanggal 15 September mereka bertemu dan tersiar kabar bahwa sudah ada titik temu. Tanggal 16 September saya membaca berita tidak ada kesepakatan. Siapa yang bohong?. Faktanya, minggu depan rakyat unjuk di kantor Bupati Tobasa. Jelas kan, siapa yang bohong?.
Tragedi itu sangat menyayat hati. Walaupun demikian, buldoser BPODT berjalan terus. Mungkin mengejar target. Andaikan BPODT bernurani, sejatinya baca AMDAL proyek BPODT yang isinya bahwa indikator keberhasilan adalah jika rakyat Sigapiton menerima secara sadar tanpa protes proyek pembangunan. Jika BPODT memiliki nurani, sejatinya mempertimbangkan trauma rakyat Sigapiton. Merenung dulu lah sebelum dampak negatifnya berlanjut.
BPODT terus memaksakan kehendaknya atas nama prosedur. Sejak dulu memang BPODT tak mau mendengar. Sejak dulu BPODT tidak mau mengekapos proses pembuatan AMDAL sehingga minim masukan. Karena itu AMDAL sulit ditemukan. Rakyat Sigapiton tidak tau apa yang akan terjadi. Rakyat Sigapiton hanya kaget kaget saja.
Tragedi Sigapiton dapat kita jadikan bahan pelajaran bahwa teori pembangunan di kampus tidak jalan. Komitmen PBB akan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang diratifikasi Indonesia diabaikan begitu saja. Konsep pembangunan yang disebut eco friendly hanya hafalan saja. Bagaimana implementasi UU tahun nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)?.
MAKNA KEHADIRAN
Ada pertanyaan, untuk apa saya hadir di Sigapiton?. Saya ingat pesan abang kami sintua/majelis HKBP Jalan Jambu Jakarta Charles Hotman Siahaanyang mengatakan jika ada saudaramu/sahabat meninggal hadirlah. Duduk saja di tengah yang berduka maknanya sangat dalam. Duduk dan diam saja sangat penting. Di Sigapiton aku hadir salam-salam saja. Saya hadir karena berempati kepada mereka.
Guru besar emeritus ITB Prof.Tunggul Sirait juga ingin hadir. Beliau hubungi saya akan kegelisahannya. Hanya, alasan kesehatan saja tidak jadi hadir. Demikian juga Prof.Adler Haymans Manurung sudah hadir, tapi pesawatnya tidak bisa mendarat di Silangit. Akhirnya ke Kualanamu. Berusaha lagi dari Kualanamu ke Silangit. Tak sempat turun ke Desa Sigapiton. karena besok paginya harus ke Jakarta. Banyak yang ingin hadir. Hanya hadir. Artinya, hadir itu begitu bermakna bagi yang bernurani. (gurgur manurung)
#gurmanpunyacerita.