Indovoices.com-Pagi hari di Prancis kini tak sama lagi. Suara indah burung berkicau berganti parau, begitu pula mentari yang seakan enggan tersenyum.
Pandemi virus corona telah mengubah segalanya. Hari-hari kini dilewati 858.892 orang di seluruh belahan dunia dengan napas tersengal, sementara 42.158 lainnya telah menyerah melawan penyakit COVID-19 ini.
Air laut pun seakan semakin asin karena ditumpahi air mata dari orang-orang yang tengah berjuang melawan maut. Bukan hanya pasien, dokter dan perawat yang berada di garis terdepan pun kini juga bertaruh nyawa.
Elise Cordier, seorang perawat di Prancis, merasakan betul penderitaan menghadapi virus asal Wuhan ini. Perjuangannya selama merawat pasien yang terinfeksi corona bahkan sampai merasuk ke alam bawah sadarnya.
“Setiap pagi saya bangun, saya menangis. Waktu sarapan, saya menangis. Saat siap-siap berangkat, saya juga menangis,” ujar Cordier dikutip AFP.
Bagaimana tidak, Prancis menjadi salah satu negara dengan penderita positif corona terbanyak di dunia. Hingga Rabu (1/4), sebanyak 52.128 orang dinyatakan positif corona, sementara 3.523 tewas.
Bak prajurit, Cordier berupaya mengenyahkan rasa takut dan khawatirnya ketika menangani pasien. Dia sembunyikan air matanya dan menggantinya dengan senyum.
“Ketika di ruang ganti rumah sakit, saya usap air mata saya. Saya tarik dan buang napas. Karena, orang-orang yang terbaring di kamar perawatan juga menangis. Dan, saya di sana bertugas untuk mengusap air mata mereka,” katanya.
Meski demikian, Cordier mengaku tak kuat menahan tangis usai melihat kondisi para pasien. Dia kadang tak bisa membendung air matanya sepanjang berjalan di koridor.
Berada di garda terdepan, pekerjaan dokter dan perawat kini tak lagi hanya soal medis. Mereka juga harus bisa menjaga mental dengan kondisi kacau saat ini.
Kondisi itu memicu pekerjaan tambahan dari para psikolog rumah sakit. Karena mereka tak hanya mendampingi pasien, melainkan juga para petugas medis.
Psikologis Nicolas Dupuis mengatakan layanan konsultasi dengannya meroket hingga 200 orang per hari, yang kebanyakan bekerja di bagian medis. Mereka, lanjut Dupuis, dilema karena seakan terjebak di antara loyalitas kepada pasien atau keluarga.
“Suatu kali pernah ada yang konsultasi ke saya, dia cerita bahwa anaknya usia 7 tahun mengatakan, ‘Bu, kalau ibu sakit, tidak usah pulang ke rumah,” ucapnya menirukan keluhan pasiennya. (msn)