Indovoices.com –Umat Katolik di kota Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengakubelum bisa menjalankan ibadah Natal dengan aman, setelah diancam keselamatannya jika berkukuh menggelar acara keagamaan di rumah ibadah yang ditolak sebagian warga setempat.
Nada suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca, ketika pria berusia 52 tahun ini mencoba mengingat lagi peristiwa yang disebutnya sebagai “ancaman” terhadap umat Katolik di Bulukumba, setahun silam.
Christ Thamrin, nama pria setengah baya itu, adalah salah-seorang warga Katolik yang dituakan di Bulukumba.
Saat itu Christ dan sejumlah umat Katolik berencana menggelar ibadah Natal di sebuah rumah di Jalan Wahidin yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah. Mereka belum bisa membangun gereja karena terbentur perizinan.
Tetapi rencana menggelar ibadah Natal itu ditolak oleh orang-orang yang mengaku warga Muslim setempat.
Lantas pemerintah setempat berusaha menyelesaikan perbedaan itu melalui pertemuan tersebut. Pria yang rambutnya sudah memutih ini kemudian menghadirinya.
Setahun kemudian, Christ mengaku sulit melupakan kata-kata yang berhamburan dalam acara dialog tersebut.
“Kami ditakut-takuti ‘jangan sampai kalian beribadah di situ, kalau kalian beribadah di situ kami tidak bisa menanggung akibatnya’,” Christ mencoba menirukan ucapan salah-seorang warga yang mengaku tinggal tidak jauh dari rumah ibadah sementara umat Katolik.
Ancaman seperti itu, tentu saja, membuat warga Katolik di kota itu merasa “tidak aman” hingga sekarang, katanya.
“Ada beberapa oknum (yang menolak keberadaan rumah ibadah sementara) memberi kami rasa tidak aman, sehingga kami telah memutuskan tidak beribadah pada saat itu,” ungkapnya kepada wartawan asal Makasar, Darul Amri, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Semenjak saat itulah, Christ dan umat Katolik di Bulukumba tidak pernah lagi menggelar ibadah mingguan di rumah ibadah sementara itu, karena merasa “tidak aman”.
Beribadah ke kota Bantaeng atau Makassar
Dinding ‘rumah ibadah sementara’ di Jalan dr. Wahidin Sudirohusodo, Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, itu terbuat dari papan kayu.
Sebagian sudut dinding papannya terlepas. Beberapa sisinya rusak dimakan rayap.
Di halaman belakang, ada dua ekor anjing menggonggong saat kami mendatanginya, Rabu (23/12) petang. Suasana terlihat senyap.
Lebar bangunan itu kurang-lebih delapan meter, dan panjang 10 meter. Memiliki dua pintu, belakang dan depan, serta dua jendela.
Didirikan sekitar 10 tahun lalu, rumah ini dijadikan tempat ibadah, lantaran umat Katolik di Bulukumba tidak memiliki gereja. Di kota itu ada sekitar 200 orang umat Katolik yang terdiri setidaknya 50 kepala keluarga.
Namun aktivitas keagamaan di sana tidak berlanjut setelah ada penolakan pada 2017 dan puncaknya setahun silam.
“Sejak kejadian itu, kami sama-sekali tidak bisa beribadah di sini,” ujar Christ.
Sore itu, dua pintu rumah itu terkunci, dan Christ lupa menaruh di mana. Akhirnya, pintu belakang bangunan yang berdiri tujuh tahun silam itu dibuka paksa dengan kunci tang.
Di dalam ruangan, ada bangku-bangku panjang berjejeran dua baris. Sarang laba-laba terlihat di beberapa sudutnya.
Patung Yesus dan Bunda Maria, yang berada di sisi utara ruangan, masih berdiri. Demikian pula patung Yesus tersalip masih menempel di dindingnya. Debu menempel di mana-mana.
Semenjak ada penolakan, umat Katolik di Bulukumba terpaksa beribadah di hari Minggu di gereja di kota Bantaeng atau Makassar. Kota ini berjarak sekitar 164km dari sisi selatan Makassar.
“Tapi ini (hanya) bagi yang punya kendaraan,” ujarnya.
Walaupun tetap merasa was-was, Christ sempat menyulap rumahnya menjadi tempat ibadah sementara bagi warga Katolik yang tidak mampu melakukan perjalanan ke luar kota.
Semuanya itu berubah karena pandemi Covid-19 yang melarang ada kerumunan. Dia menaati keputusan pemerintah dan “sesudah itu tidak ada lagi ibadah”, termasuk ibadah Natal tahun ini.
Pemerintah Bulukumba sediakan tempat beribadah sementara
Pemerintah Kabupaten Bulukumba mengaku telah menawarkan gedung PKK Dharma Wanita dan Kantor Bupati kepada umat Katolik setempat untuk melakukan perayaan ibadah mingguan, setahun silam.
Kepala Kesbangpol Bulukumba, Ahmad Arfan, mengatakan tawaran itu menghindarkan apa yang disebutnya sebagai “ketersinggungan warga” di Jalan Wahidin Sudirohusodo yang menolak peribadatan umat Katolik di rumah ibadah sementara itu.
“Gedung PKK pemerintah sudah kita tawarkan, karena di tempat ibadah mereka sedikit agak buntu dan masyarakat itu pokoknya menolak tidak ada lagi itu (peribadatan),” kata Ahmad kepada Darul Amri.
Lanjut Ahmad, tidak serta merta gedung yang ditawarkan pemerintah itu tidak bisa langsung digunakan, karena ada prosedur perizinan untuk dipakai sebagai tempat ibadah sementara umat Katolik.
“Jadi pemerintah tawarkan solusinya kami punya gedung, itu jauh dari pemukiman, tidak mengganggu penduduk bahkan itu yang ada bupati dan ketua pengadilan. Tapi tidak serta merta diberi ke situ bisa langsung, ada prosedurnya,” kata Ahmad.
“Prosedurnya itu diatur dalam peraturan bersama dua menteri (SKB 2 menteri), yang pertama mengajukan permohonan tertulis ke bupati sebagai pemilik gedung, sambil itu jalan meminta juga rekomendasi tertulis dari lurah setempat,” lanjutnya.
Christ Thamrin mengaku sudah pernah ditawari tempat tersebut setahun silam, namun mereka menolaknya karena “waktunya sudah tidak mendukung”.
“Kami menolaknya karena waktunya sudah tidak mendukung, sisa dua hari (jelang Natal 2019), besoknya sudah malam Natal,” akunya.
Izin mendirikan bangunan gereja Katolik
Sementara itu terkait rencana bangunan permanen gereja yang pernah diusulkan umat Katolik, Ahmad mengaku untuk di lokasi sekarang itu “berat”.
Alasannya, secara kuantitas, jumlah umat katolik di sekitar lokasi pembangunan bangunan gereja belum cukup.
“Belum lagi ada persyaratan 60 tanda tangan warga di sekitarnya,” kata Ahmad.
Dia merujuk kepada persyaratan pendirian tempat ibadah yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Hal ini juga ditegaskan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bulukumba, H Tjamiruddin.
Selama memenuhi aturan itu, umat Katolik dapat mendirikan gereja di wilayah itu.
“Di rapat terakhir malah kami sampaikan, silahkan cari lokasi tetapi yang penting itu sesuai (SKB dua Menteri). Kalau ini bisa dipenuhi saya kira tidak ada masalah, FKUB akan berikan rekomendasi,” jelas Tjamiruddin saar ditemui di rumahnya.
“Dan bupati akan mengeluarkan izin kalau memang memenuhi ketentuan SKB dua menteri, itu saja,” tambah Tjamiruddin.
Menanggapi hal ini, Christ Thamrin mengaku sudah pernah ditawari “mencari tempat” pendirian gereja dengan memenuhi syarat-syarat dalam SKB dua menteri. Tapi Chrits mengaku “takut”.
“Kami takut terjadi kejadian di tahun 1980-an,” akunya. Dia teringat saat itu juga ada penolakan sebagian warga setempat.
“Jadi, saya rasa belum ada solusi yang bagus buat kami,” tandasnya. “Masih jalan buntu.”
Laskar Wahidin Bulukumba bantah meneror umat Katolik
Ketua ormas Laskar Wahidin Bulukumba, Hasyim, menolak tuduhan bahwa pihaknya menolak peribadatan umat Katolik di Bulukumba. Menurutnya, pihaknya hanya menolak penyalahgunaan penggunaan rumah tempat tinggal untuk tempat ibadah.
“Tidak pernah kita melarang ibadah, ini saya perlu luruskan juga. Yang dilarang menggunakan gedung itu (untuk tempat ibadah) sebelum ada izinnya,” kata Hasyim kepada wartawan di Makassar, Darul Amri, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (24/12). .
“Setelah saya tanyakan, izinnya ternyata itu untuk rumah tinggal, bukan rumah ibadah,” katanya.
Dia mengaku sudah meminta Christ Thamrin untuk mengurus perizinan keberadaannya sebagai tempat ibadah.
Apabila izin sudah keluar, Hasyim mengaku tak memasalahkannya.
“Kalau izinnya terpenuhi, termasuk persetujuan masyarakat setempat, kalau mendapat persetujuan 90 orang kepala keluarga, dan tanda tangan hitam di atas putih,” katanya.
Hasyim menolak tuduhan pihaknya mengancam keselamatan umat Katolik di Bulukumba jika mereka berkukuh menggunakan rumah di jalan Wahidin sebagai tempat ibadah.
“Tidak ada masyarakat atau anggota saya yang (melakukan) teror, fitnah itu,” kata Hasyim. Dia mengaku unjuk rasa yang dilakukannya sudah seizin kepolisian setempat.
Hasyim mengaku rumahnya berada di depan rumah yang dijadikan tempat ibadah umat Katolik. Dia mengeklaim mewakili warga setempat yang menolak tempat peribadatan itu.
Tidak semua warga menolak tempat ibadah Katolik
Namun demikian, tidak semua warga yang tinggal di jalan Wahidin menolaknya. Salah-seorang diantaranya adalah Fatmawati, berusia 50 tahun. Kediamannya hanya berjarak empat rumah dari rumah ibadat umat Katolik itu.
“Tidak menolak, karena kita pikir sebagai umat beragama harus selalu menghargai antara umat yang satu dengan umat yang lain,” katanya kepada Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Kita utamakan itu toleransi beragama, karena saya rasa tidak mengganggu, itu saja,” tegasnya.
Fatmawati mengaku dalam tiga tahun terakhir tempat itu tidak digunakan lagi untuk beribadah, setelah ada unjuk rasa menolak keberadaannya.
Bangunan itu digunakan untuk berbagai kegiatan sosial seperti sunatan massal atau aktivitas sosial lainnya.
“Kegiatan yang lain seperti pertandingan catur dalam rangka 17 Agustus biasa diadakan di situ, sunatan massal disitu yang adakan umat katolik,” lanjutnya.
Pegiat keberagaman: ‘Pemda Bulukumba agak picik’
Pegiat Keberagaman di Bulukumba, Andy Satria, yang berusia 40 tahun, menilai, pemerintah daerah Bulukumba memiliki wewenang menghadirkan solusi internal agar umat non-Islam dapat beribadah dengan tenang.
“Ternyata pemerintah kita ini hadir dengan konsep pemahaman yang masih agak picik,” kata Andy Satria di Bulukumba, Rabu (23/12).
Menurutnya, sikap pemerintah Bulukumba seolah-olah masih bersikap atas nama penganut ‘agama tertentu’,” ujarnya.
Andy menganalisa, dalam beberapa tahun terakhir, warga Bulukumba kebanyakan masih dipengaruhi pemahaman ‘klasik’ dalam memahami keberagamaan.
“Karena belum ada usaha meningkatkan kualitas keberagamaan, sehingga yang ada adalah kegagalan memahami keberagaman,” jelas Andy Satria saat di temui di Bulukumba.
Seharusnya, umat Islam Bulukumba dapat menjadi contoh bagaimana umat Islam yang mayoritas melindungi kelompok minoritas, termasuk umat Katolik.
“Walau jumlahnya itu sangat sedikit bukan berarti SKB dua menteri itu menyebabkan mereka tidak bebas beribadah, jadi umat Islam dan pemerintah bersepakat memberi ruang dan peluang,” tambah Andy Satria.
Andy mengetahui ada semacam fobia yang dianut sebagian Muslim terhadap pendirian gereja, yaitu kekhawatiran adanya kristenisasi. Namun menurutnya, semakin banyak rumah ibadah umat non-Islam didirikan di Bulukumba, justru membawa kebaikan.
“Artinya masyarakat penganut Islam Bulukumba semakin dekat kepada kepahaman akan perbedaan,” katanya.
“Jika di sini tidak ada pura, tidak ada wihara, agak sulit bagi umat Islam memahami apa aktivitas umat Hindu, Budha, Konghucu.
“Jika tidak ada gereja Katolik, khususnya umat Islam akan agak kesulitan untuk memahami eksistensi Katolik,” paparnya.
Andy meminta fobia terhadap agama lain dhilangkan, karena hal itu “keliru” dan akan menyebabkan “kita mudah dirasuki penikiran negatif”.
“Kita punya terapi untuk mengatasi fobia itu, terapinya adalah diskusi atau dialog,” tandasnya.
Setara Institute minta pemerintah merevisi SKB dua menteri
Surat Keputusan Bersama (SKB) dua Menteri, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, yang antara lain mengatur pendirian rumah ibadah, diusulkan untuk direvisi.
Para pegiat kebebasan beragama menganggap, sering dijumpai kasus-kasus hambatan pendirian tempat ibadah, lantaran pelaksanaan dari SKB ini.
Dalam beberapa kasus keberadaan SKB ini dianggap menjadi semacam pembenaran adanya aksi-aksi intoleransi terhadap kelompok minoritas.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, mengatakan dirinya mendukung langkah pemerintah pusat yang saat ini dilaporkan sedang merancang perubahan SKB yang “dianggap diskriminatif”.
Menurut Ismail, ini kesempatan yang baik bagi Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk memulai menyusun satu regulasi yang “lebih inklusif, adil dan setara”.
Dia menyarankan perubahan pada peraturan itu yaitu soal syarat matematis. Dia menganggap “basis pendirian tempat ibadah adalah kebutuhan faktual, bukan jumlah jemaat.”
“Karena berapapun jumlah jemaat, tetap mereka membutuhkan tempat ibadah. Sehingga tidak tepat ketika salah-satu syarat itu kemudian ditakar dengan matematika umat atau dengan nominal jemaat.
“Itu jelas bentuk pembatasan,” kata Ismail Hasani.
“Kalau alasannya potensi Kristenisasi, itu kan bukan soal jumlah. Artinya soal pembatasan, atau soal angka-angka itu tidak relevan sebagai salah-satu syarat pendirian tempat ibadah,” tambahnya.
Ismail juga menyarankan agar peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) tidak mewakili organisasi keagamaan semata.
“Tetapi juga ada orang-orang yang memiliki kepakaran dan perhatian di bidang ini. Misalnya dari pakar hukum, konstitusi,” katanya.
“Karena ini soal pemenuhan konstitusi warga negara, bukan cuma soal kerukunan antar umat beragama,” jelas Ismail.
Hal ini dia tekankan karena ada kasus-kasus justru FKUB “justru menjadi penghalang” bagi pendirian tempat ibadah.