Indovoices.com-Virus penyebab Covid-19 yang tersebar di berbagai belahan dunia ternyata telah bermutasi dari virus di Wuhan, China yang merupakan tempat asalnya. Namun pengaruh mutasi tersebut pada sifat virus belum diketahui.
Pada pertengahan Maret, sekitar dua pekan sejak Indonesia pertama kali mengumumkan kasus positif Covid-19, Institut Biologi Molekuler Eijkman ditunjuk menjadi salah satu laboratorium untuk uji coba spesimen. Sambil melakukan pengujian, mereka meneliti virus penyebab penyakit tersebut, SARS CoV-2.
Pada bulan April, para peneliti mulai berfokus untuk menjabarkan sekuens materi genetik, atau genom, SARS CoV-2 secara utuh. Genom berfungsi sebagai semacam kartu identitas bagi virus, membedakannya dari jenis virus lain serta memuat petunjuk tentang evolusinya.
Dan akhirnya pada hari Senin (04/05), mereka menyerahkan tiga sekuens pertama SARS CoV-2 dari Indonesia kepada pusat data Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID). Platform tersebut merupakan tempat para ilmuwan di seluruh dunia berbagi data tentang Covid-19. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 17.000 sekuens virus [yang diunggah ke platform tersebut]
Tiga sekuens dari sampel virus yang diambil di Jakarta itu ternyata tidak sama persis, namun masih berkerabat, dengan virus di China yang merupakan tempat asalnya. Dua sekuens telah mengalami perubahan asam amino pada protein yang disebut Open Reading Frame (ORF) dan satunya lagi mutasi pada protein S atau Spike, protein pada membran virus yang digunakan untuk menempel pada sel manusia.
Profesor Amin Soebandrio, direktur Institut Biologi Molekuler Eijkman, mengatakan bahwa dengan menjabarkan sekuens genom virus dan mengunggahnya ke pusat data seperti GISAID, para peneliti bisa membandingkannya dengan sekuens dari luar negeri dan mengungkap asal-usul virus tersebut.
“Kita bisa melihat secara internasional itu, virus yang ada di Indonesia berasal dari mana,” kata Prof. Amin kepada BBC News Indonesia.
Misalnya, berdasarkan hubungan kekerabatan diketahui bahwa virus pada sampel yang dilabeli EIJK2444 sempat singgah di Australia dan Singapura sebelum sampai ke Indonesia. Adapun sekuens EIJK0141 awalnya bertolak dari China ke Amerika Serikat kemudian ke Indonesia.
Selain melacak pergerakan virus di luar negeri, data sekuens juga bisa digunakan untuk menganalisis pergerakannya di dalam negeri, kata Prof. Amin yang juga termasuk dalam tim pakar Gugus Tugas Covid-19. Misalnya, melihat apakah virus yang ditemukan di Manado sama dengan virus di Jakarta.
Penelusuran kontak atau contact tracing selama ini dilakukan berdasarkan riwayat kontak pergerakan orang. Hasil penelusuran itu bisa dikonfirmasi dengan data molekuler.
“Namanya epidemiologi molekuler, di mana kita akan mengetahui apakah satu orang dengan orang lainnya yang diduga kontak itu virusnya sama.
“Kalau dicurigai, misalnya, si B itu positif setelah kontak dengan si A, itu kan baru berasal dari riwayat kontak manusianya. Tapi kita bisa mengkonfirmasi itu dengan melihat virusnya. Jadi kalau virusnya sama ya itu hipotesisnya benar,” ia menjelaskan.
Mutasi
Lebih lanjut Prof. Amin menjelaskan, perbedaan antara virus Covid-19 di Indonesia dan di negara-negara lain disebabkan adanya mutasi, yaitu perubahan pada materi genetik virus. Karena materi genetik merupakan kode untuk asam amino yang menyusun protein, mutasi berarti perubahan pada protein si virus.
Mutasi terjadi setiap kali virus memperbanyak diri, dan terjadi secara acak. Lalu terjadi seleksi alam yang di dalamnya bentuk yang paling sesuai dengan lingkungannya akan bertahan.
“Mutasi itu bisa menjadi bagus, bisa menjadi jelek [bagi virus],” ujarnya.
Para peneliti di Amerika Serikat dan Inggris telah mengidentifikasi ratusan mutasi virus penyebab Covid-19.
Namun belum ada yang bisa memastikan apa artinya hal ini bagi penyebaran virus di masyarakat saat ini dan seberapa efektif vaksin untuk mengatasinya.
Virus memang bermutasi, dan itulah sifat dasar mereka.
Pertanyaannya adalah: mana di antara mutasi ini yang sesungguhnya berpengaruh terhadap kecepatan penyebaran dan memburuknya penyakit?
Riset pendahuluan di Amerika Serikat menyatakan salah satu mutasi – D614G – menjadi dominan dan bisa membuat virus menjadi lebih menular.
Riset ini belum diulas oleh sesama ilmuwan dan belum secara resmi diterbitkan.
Para peneliti dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, telah melacak perubahan pada “ujung runcing” virus yang membuatnya punya bentuk yang unik, dengan menggunakan data yang disebut sebagai Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID).
Mereka mencatat tampaknya ada sesuatu terkait mutasi yang membuat virus ini tumbuh lebih cepat. Namun konsekuensinya belum jelas.
Tim riset ini menganalisis data virus corona dari para pasien di Sheffield, Inggris. Mereka menemukan pasien s x gknybjm dengan virus yang sudah bermutasi.
Jumlah virus dalam sampel pasien-pasien itu lebih banyak, tapi para ilmuwan belum menemukan bukti bahwa sakit mereka jadi lebih parah, atau mereka jadi harus tinggal di rumah sakit jadi lebih lama.
‘Mutasi tidak selalu buruk’
Sebuah kajian lain dari University College London mengidentifikasi 198 mutasi berulang pada virus corona.
Salah satu anggota tim peneliti, Profesor Francois Balloux, mengatakan: “Mutasi itu sendiri bukan hal yang buruk dan tidak ada hal apapun yang bisa membuat kita menyimpulkan bahwa SARS-CoV-2 ini bermutasi lebih cepat atau lebih lambat daripada perkiraan kita.”
“Hingga saat ini, kita tak bisa mengatakan apakah SARS-CoV-2 jadi lebih berbahaya atau jadi lebih mudah menular.”
Sebuah kajian dari University of Glasgow, yang juga menganalisis mutasi virus ini, mengatakan perubahan-perubahan ini tidak membentuk galur virus baru. Mereka menyimpulkan bahwa hanya satu tipe saja virus yang beredar sekarang ini.
Memonitor perubahan kecil terhadap struktur virus ini penting untuk memahami pengembangan vaksin.
Misalnya pada virus flu, mutasi terjadi dengan cepat sehingga vaksin harus disesuaikan setiap tahun untuk menghadapi galur baru yang beredar.
Pengembangan obat
Banyak vaksin Covid-19 yang sedang dalam pengembangan saat ini mengarah pada ujung runcing khas milik virus itu.
Ide di balik ini adalah: membuat tubuh kita mengenali unsur unik dari ujung runcing itu untuk membuatnya melawan virus itu secara keseluruhan.
Namun apabila ujung runcing itu berubah, maka vaksin yang dikembangkan dengan cara ini menjadi tidak efektif.
Saat ini, semua ini bersifat teoritis. Para ilmuwan tidak punya informasi cukup untuk mengatakan apa arti dari perubahan genome pada virus itu.
Dr Lucy van Dorp, salah seorang dari tim peneliti di UCL mengatakan, kemampuan menganalisis sejumlah besar genome virus ini akan “sangat berharga bagi upaya pengembangan obatnya”.
Namun katanya kepada BBC: “Saya cinta pada genome, dan hanya itu yang bisa saya katakan”.(msn)