Assalamualaikum Wr Wb
Salam sejahtera untuk kita semua. Tetaplah berpelukan dalam perbedaan, jangan lelah mencintai Indonesia. Jangan jadikan perbedaan sebagai bibit perpecahan tapi jadikan keberagaman sebagai modal kekuatan untuk kita, bahwa dengan Bhineka kita Tunggal Ika. Merdeka.
Tahun Politik sudah dimulai. 2018 Pilkada serentak dan 2019 Pileg sekaligus Pilpres. Semua Parpol pasang strategi untuk memenangkan hati rakyat. Namun dari berbagai pernyataan para pengamat, isu SARA akan lebih dahsyatnya dari pada Politik uang.
Dari berbagai isu Pilkada 2018 akhir-akhir ini saya lebih tertarik dengan isu Sumatera Utara yang juga akan menyelenggarakan Pilgub pada 2018 ini.
Mengapa saya tertarik?
Ada banyak alasan, salah satunya isu Agama, sebab isu ini sudah dimainkan di sana selain isu “Putra Daerah”. Lihat saja kemarin sebelum hari H Pendaftara, rame anaknya Amin Rais yang katanya akan di Pasangkan dengan salah satu Bakal Calon Gubernur yang beragama Nasrani. Isunya bukan isapan jempol bahkan media mainstream juga memberitakan, walau tak lama berselang Amin Rais ngamuk-ngamuk membantahnya dengan membawa-bawa kecebong segala.
Belum dimulai sudah heboh bukan?
Ya itulah menariknya Pilkada Sumatera Utara.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sudah resmi mengusung Djarot Saiful Hidayat sebagai calon gubernur dalam pilkada Sumatera Utara 2018, pasangannya Non Muslim. Meriam sudah diarahkan ke Sumatera Utara. Lihat saja massa PPP yang demo melakukan penolakan terhadap calon Non Muslim. Entah sampai jilid berapa demo ini, kita tunggu saja endingnya macam apa?
Apakah Djarot pantas jadi pemimpin di Sumatera Utara? Menurut saya, pantas.
Mengapa?
Jawabnya. Karena beliau mampu dan merupakan salah satu Pemimpin sukses di Republik ini. Sejak dari menjabat Walikota Blitar, lalu Wakil Gubernur DKI Jakarta dan terakhir Gubernur DKI Jakarta. Rasanya pengalaman yang sudah mempuni tersebut sudah merupakan sebuah jaminan kepada masyarakat Sumatera Utara bahwa kesejahteraan Rakyat yang berkeadilan Sosial itu “Harga Mati” untuk beliau.
Yang Kedua, tidak kalah penting mengapa saya mendukung Djarot maju di Pilkada Sumatera Utara, hal itu karena suara-suara yang selama ini meminta beliau atau Ahok jadi pemimpin di sana, sebagaimana suara yang dulu bernah berhembus, rasanya inilah sebuah jawaban. Tidak itu saja, dengan majunya Djarot di Sumatera Utara itu akan jadi tolok ukur apakah Sumatera Utara makan SARA atau tidak. Kita tunggu saja. Cukup beralasan saya berfikir demikian, Sebab Djarot akan identik dengan AHOK kemudian Djarot dan seterusnya dan seterusnya.
Setelah Deklarasi Djarot maju dan berpasangan dengan calon Wakil Gubernur Non Muslim “Moncong Meriampun mengarah ke Sumatera Utara” di sinilah kita akan melihat sesakit apakah bangsa kita ini terhadap isu beda Agama.
Kesimpulan dan Penutup
Sudah sangat lelah kita melihat isu perpecahan dalam kehidupan berbangsa, saling mengkafirkan hampir setiap hari kita lihat di laman media sosial. Pokoknya tak sepemahaman “Kafir”
Sebagai anak bangsa, tentu kita sedih menyaksikan drama semacam ini. Saling hina, saling hujat, saling menebar kebencian antar Suku Ras Agama dan Antar Golongan yang sudah sangat memprihatinkan.
Dulu ketika Sekolah Dasar, saya tak percaya pada dis-integrasi Bangsa. Tapi semakin kesini saya percaya, bahwa itu benar adanya. Jika saling maki, saling hujat karena beda pilihan Politik terus kita biarkan, bukan barang mustahil bangsa ini bakal hancur berkeping-keping. Dan itu akan terjadi, esok atau lusa nanti.
Selain beda agama, beda sukupun jadi liar akhir-akhir ini, sebagai contoh Pemilihan Walikota Jambi, lalu Pemilihan Bupati Merangin Provinsi Jambi, isu putra daerah sedang kencang berembus. Saling klaim putra daerah dimainkan para elit tim sukses. Ini sungguh memprihatinkan. Apa yang salah dengan demokrasi bangsa ini?
Apakah bangsa ini belum siap dengan Pilkada langsung? Apakah bangsa ini sakit parah karena Pilkada?
Suap, mahar politik, beli suara, modus bagi sembako, serangan fajar itu sudah jadi rahasia umum dalam Pemilihan Kepala Daerah selama ini. Apakah ini akan terus dibiarkan? Semua itu akan terjawab dari sikap kita sebagai warga negara dalam menyikapi masalah tersebut, mau atau tidak kita merubah cara berfikir semacam ini.
“Kita sama pilihan beda” harusnya begitu. Sebab beda pilihan politik sah di alam demokrasi ini, lalu mengapa kita harus berpecah kaca?
Untuk para tim sukses, berkampanyelah tentang program unggulan jagoan anda jangan jualan SARA, sebab 1928 semua itu sudah selesai.
Wasalam
Suara Honorer
Yolis Syalala