Indovoices.com –Perusahaan bioteknologi Moderna menjadi perusahaan yang akan pertama kali melaporkan data uji coba tahap akhir vaksin virus corona pada November mendatang. Dampak dari pengumuman ini, saham Moderna naik mencapai lebih dari 3%.
Beberapa perusahaan bioteknologi lainnya juga telah juga berada dalam tahap akhir uji coba pengembangan vaksin, yakni Pfizer, AstraZeneca, dan Johnson & Johnson.
Moderna melakukan uji coba tahap akhir pada 30.000 relawan dan hasil klinis akan dipantau oleh Komite Peninjau Data Independen. Moderna siap untuk mendistribusikan vaksin dengan nama mRNA-1273 pada akhir tahun sebanyak 20 juta dosis. Sementara itu, untuk tahun depan perusahaan ini menargetkan akan memproduksi 500 juta hingga 1 miliar dosis vaksin.
Melansir dari Reuters, Moderna akan menindaklanjuti hasil uji coba vaksin dengan memantau keamanannya selama dua bulan ke depan, sebelum mengajukan emergency use authorization. Hal ini sesuai dengan pedoman Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), bahwa pengembang vaksin wajib memantau subjek uji coba selama dua bulan setelah injeksi untuk melihat kemungkinan efek samping yang ditimbulkan.
Perusahaan yang berbasis di Cambridge, Massachusetts, telah menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya untuk memasok vaksin. Dalam perjanjian dengan pemerintah AS, Moderna akan memproduksi 100 juta dosis dengan harga vaksin US$ 25 atau setara dengan Rp 370.000 per dosis. Pemerintah AS pun memiliki opsi untuk membeli 400 juta dosis tambahan.
Selain itu, Moderna juga tengah terlibat dalam diskusi bersama COVAX yang dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk membahas mengenai pendistribusian dan penetapan batas harga vaksin.
Mengutip dari Reuters, saat ini WHO sedang menyiapkan dana kompensasi untuk negara miskin yang kemungkinan mendapat efek samping dari vaksin Covid-19. Hal ini juga bertujuan untuk menghilangkan ketakutan masyarakat yang dapat menghambat distribusi vaksin secara global.
Sebab, sewaktu pandemi flu babi H1N1 terjadi keterlambatan penyuntikan vaksin di negara berpenghasilan rendah. Antisipasi tak terjadi keterlambatan penyuntikan disiapkan oleh program COVAX yang dipimpin WHO dan GAVI, aliansi vaksin global. Setidaknya, COVAX telah menargetkan untuk mendistribusikan 2 miliar injeksi vaksin di seluruh dunia hingga akhir tahun depan.
“Fasilitas COVAX sedang mengembangkan sistem untuk memberikan kompensasi terhadap orang-orang di 92 negara yang menderita dampak buruk serius tak terduga yang disebabkan oleh vaksin atau administrasi mereka,” kata COVAX, dikutip dari Reuters (29/10/20).
Adapun 92 negara yang termasuk dalam skema ini adalah negara berpenghasilan rendah, yang sebagian besar berada di Afrika dan Asia Tenggara. Hal ini akan membuat pemerintah negara tesebut menanggung biaya klaim yang diajukan pasien lebih sedikit atau tidak sama sekali.
Namun demikian, negara berpenghasilan rendah seperti Afrika Selatan, Lebanon, Gabon, Iran, dan sebagian besar negara Amerika Latin tidak ditawari dana kompensasi ini.
Hingga saat ini, WHO belum memberikan kriteria yang digunakan dalam menentukan 92 negara tersebut. Namun, dalam skema dijelaskan bahwa negara yang menggunakan vaksin COVAX akan mendapat kompensasi setidaknya hingga Juli 2022.
Selama belum ada vaksin dan obat Covid-19, pemerintah mengingatkan masyarakat pentingnya disiplin menerapkan gerakan 3M. Gerakan itu terdiri dari mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan menjaga jarak untuk memutus penularan virus corona.(msn)