Indovoices.com –Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Febrie Adriansyah pada Senin (14/9) membeberkan inisial DK dalam upaya penerbitan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk membebaskan terpidana Djoko Tjandra. Menurutnya, inisial DK tercantum dalam proposal pengurusan fatwa MA yang diajukan tersangka jaksa Pinangki Sirna Malasari kepada terpidana korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999 tersebut.
“Nama (inisial) DK itu tercantum dalam proposal Pinangki ketika meyakinkan Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa,” kata Febrie saat ditemui di Gedung Pidana Khusus, Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, Senin (14/9).
Febrie mengatakan, inisial DK tersebut, pun sudah ditanyakan kepada tersangka Pinangki, saat pemeriksaan, Senin (14/9). Namun, kata Febrie, dari hasil pemeriksaan tersebut, penyidik tak mendapatkan gambaran terang dari tersangka Pinangki, atas inisial DK tersebut.
“Sampai hari ini, Pinangki juga tidak mengaku siapa DK itu. Singkatan dari apa, juga belum tahu,” terang Febrie.
Akan tetapi, kata Febrie, penyidikannya, tetap akan mengungkap soal peran DK tersebut.
“Itu hak tersangka untuk tidak memberi tahu. Tetapi, kita akan tetap telusuri siapa inisial DK ini,” kata Febrie.
Hanya saja, Febrie melanjutkan, tak ingin berspekulasi tentang inisial DK tersebut. Termasuk, kata dia, terkait inisial yang diduga oknum hakim mahkamah, maupun pengadilan.
“Kita tidak mau berandai-andai tentang DK ini. Penyidik, masih mendalami dan sedang mengumpulkan informasi dari penyidikan ini,” terang Febrie menambahkan.
DK, menurut Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), adalah satu di antara lima inisial yang diduga terkait dengan upaya tersangka Pinangki, bersama tersangka Anita Dewi Kolopaking, membantu Djoko Tjandra mendapatkan fatwa bebas dari MA atas putusan MA 2009. Empat inisial lainnya, yakni T, BR, HA, dan SHD.
Kordinator MAKI Boyamin Saiman telah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami sejumlah inisial dalam skandal suap, gratifikasi terpidana Djoko Tjandra itu.
“Dalam rencana pengurusan fatwa itu, yang sering disebut-sebut, yaitu T, DK, BR, HA, dan SHD,” kata Boyamin, dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (11/9) pekan lalu.
Boyamin belum mau membeberkan inisial-inisial tersebut, berasal dari kalangan mana. Tetapi kata Boyamin, dalam komunikasi antara Pinangki, Anita, dan Djoko, inisial-inisial tersebut, sering disebut.
“KPK perlu mendalami inisial nama-nama itu,” kata Boyamin.
Pengacara Pinangki, Jefri Moses Kam menerangkan, saat pemeriksaan kliennya, Senin (14/9), tim penyidik di JAM Pidsus memang menanyakan soal inisial DK. Tetapi, kata Jefri, Pinangki tak mengaku tak kenal insial yang dimaksud.
“Semua inisial itu, ditanyakan. Termasuk DK,” kata Jefri usai mendampingi pemeriksaan kliennya di Gedung Pidsus, Senin (14/9).
Saat ditanya inisial-inisial tersebut ada dalam proposal fatwa ajuan Pinangki ke Djoko Tjandra, Jefri pun mengaku kliennya tak merasa pernah membicarakan para inisial yang dimaksud. Bahkan, Jefri menegaskan, tersangka Pinangki, tak pernah menerima pemberian uang dari Djoko Tjandra, untuk panjar pengurusan fatwa MA.
“Enggak ada soal uang itu. Tidak ada,” kata Jefri.
Dalam penyidikan di JAM Pidsus, tersangka jaksa Pinangki dituduh menerima uang 500 ribu dolar AS atau setara Rp 7,5 miliar dari terpidana Djoko Tjandra. Uang tersebut, diberikan lewat perantara tersangka Andi Irfan. Diduga, uang tersebut sebagai panjar pengurusan fatwa Mahamah Agung (MA) untuk membebaskan Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra, adalah terpidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali 1999. Dalam kasus tersebut, negara dirugikan sebesar Rp 904 miliar. Pada 2009, MA pernah memvonisnya bersalah dan menghukumnya selama dua tahun penjara.
Tetapi, Djoko Tjandra berhasil kabur sehari sebelum vonis dibacakan. Kejakgung, tak dapat mengeksekusi putusan MA tersebut. Sebelas tahun buronan, pada 30 Juli 2020, Djoko Tjandra, berhasil ditangkap.
Sebelumnya, Juru Bicara (Jubir) Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro menegaskan, pihaknya tidak pernah menerima surat permintaan fatwa dari siapa pun terkait perkara Djoko Tjandra. Menurut Andi, hal tersebut sudah dipastikan oleh MA.
“Setelah kami cek untuk memastikan apakah benar ada permintaan fatwa hukum ke MA terkait perkara Djoko S Tjandra, ternyata permintaan fatwa itu tidak ada,” ujarnya, Kamis (27/8).
Andi menuturkan, MA memang berwenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum. Itu dapat dilakukan baik diminta maupun tidak. Jika tidak diminta, MA hanya berwenang menyampaikan pertimbangannya hanya kepada lembaga tinggi negara.
“Jadi tentu ada surat permintaan resmi dari lembaga atau instansi yang berkepentingan kepada MA. Oleh karena itu MA tidak sembarangan mengeluarkan apakah itu namanya fatwa ataukah pendapat hukum,” katanya.