Indovoices.com –Persatuan Persatuan Perawat Indonesia (PPNI) mengeluhkan adanya pemotongan gaji dan tunjangan hari raya (THR). Pemotongan tersebut menimpa ratusan perawat di Indonesia yang bekerja di sejumlah rumah sakit pemerintah pusat dan daerah maupun swasta.
“Sampai hari ini sudah 310 laporan yang masuk,” kata Sekretaris Badan Bantuan Hukum PPNI Maryanto.
Maryanto mengungkapkan, ratusan data perawat itu dihimpun berdasarkan aduan yang dibuka secara daring sejak 15 Mei lalu. Dia mengatakan, posko aduan online tersebut akan dibuka hingga H+7 lebaran idhul fitri 1441 Hijriyah.
Meski demikian, Maryanto enggan menyebutkan daftar rumah sakit yang memotong upah atau THR perawat mereka. Dia mengaku telah mendapatkan komplain dari rumah sakit yang diadukan oleh para perawatnya itu.
Maryanto mnegatakan, para perawat juga mengaku enggan mengadukan pemotongan tersebut karena berada dalam banyak tekanan. Terlebih, dia melanjukan, para perawat saat ini juga tidak bisa bergerak bebas dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit atau puskesmas.
“Jadi kalau ngadu-ngadu itu banyak tekanan, kalau sudah ngadu siap-siap saja dimutasi atau PHK jadi kami fasilitasi dengan aduan onlinesupaya teman-teman itu aman. Beberapa rumah sakit juga sudah mulai kopmlen dengan aduan ini tapi kami tetap maju saja” katanya.
Namun, dia mengungkapkan bahwa pemotongan terjadi hampir di seluruh nusantara. Maryanto memaparkan bahwa berdasarkan aduan yang dihimpun terdapat 74 persen rumah sakit di DKI Jakarta yang memotong gaji atau THR perawat mereka.
Sisanya, sambung dia, sebanyak 38 persen Sulawesi Tenggara, 24 persen Aceh, 22 persen Banten, 12 Persen Daerah Istimewa Yogyakarta, sembilan persen kalimantan Utara, delapan persen Sulawesi Selatan, tujuh persen Sumatera Barat. Sejumlah daerah lain adalah Nusa Tengara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sematera Selatan, Jawa Tengah dan Bali.
“Bahkan ada di Tangerang dan Pati itu sejak 2016 tidak diberikan sampai sekarang, apalagi saat ini pandemi bisa ada alasan-alasan,” katanya
Maryanto mengatakan, ada beragam alasan bagi rumah sakit untuk melakukan pemotongan tersebut. Dia mengungkapkan, pihak rumah sakit swasta misalnya beralasan bahwa ada penurunan jumlah Bed Occupancy Ratio (BOR) dan pengunjung.
Dia melanjutkan, sedangkan rumah sakit pemerintah berpaku pada alasan belum turunnya anggaran dari APBD atau APBN. Menurutnya, padahal rumah sakit terlebih swasta memiliki waktu 11 bulan untuk merencanakan pelunasan kewajiban mereka.
Dia mengatakan, jika berbicara soal pandemi, APD hari ini sudah surplus serta penanganan pasien juga mulai terkendali dengan baik. Menurutnya, artinya hak-hak para pekerja yang dilabeli gelar pahlawan itu seharusnya menjadi perhatian penuh. “Jangan hanya disebut pahlawan tapi perlakuannya tidak pahlawan, jadi anomali,” katanya.
Maryanto mengatakan, PPNI hingga kini belum mengadukan hal tersebut ke lembaga pemerintahan terkait. Kendati, dia mengaku telah melayangkan surat audiensi ke direktorat pengawasan ketenagakerjaan dari kementerian ketenagakerjaan.
“Belum, jadi nanti kami sudah berkomunikasi dengan orang sana (dirjen kemnaker) tapi memang belum dapat waktunya,” katanya saat disinggung respon lembaga terkait.
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif bulanan bagi para tenaga kesehatan selama pandemi. Pemerintah berdasarkan keputusan ini, maka dokter spesialis diberi insentif bulanan sebesar Rp 15 juta, dokter umum dan gigi sebesar Rp 10 juta, tenaga keperawatan Rp 7,5 juta, dan tenaga medis lainnya Rp 5 juta.
Maryanto mengatakan, hingga saat ini insentif yang dijanjikan itu juga belum turun. PPNI dan para perawat lainnya juga belum mendapatkan informasi akan kejelasan pencairan insentif yang dimaksud.
“Belum ada informasi lebih lanjut dari pemerintah soal itu dan teman-teman banyak yang bertanya juga karena peraturan sudah diterbitkan tapi pelaksanaan sama sekali belum bisa diberikan,” katanya.(msn)