Indovoices.com –Enam bulan pandemi Covid-19 berjalan, testing Indonesia belum juga melampaui standar dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Pemerintah pun beralasan masih terkendala pelacakan kontak yang mendapat resistensi masyarakat.
Juru Bicara Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut, sampai saat ini baru lima provinsi yang sudah melampaui standar WHO.
“Lima provinsi tersebut yakni DKI Jakarta, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Papua,” kata Wiku.
Wiku tak merinci berapa jumlah testing yang sudah dilakukan kelima provinsi tersebut. Namun, standar testing WHO adalah 1 tes per 1.000 penduduk per minggu.
Pada Agustus lalu, hanya DKI Jakarta yang sudah melewati standar tersebut. Namun, Wiku bersyukur kini sudah ada 4 provinsi lain yang terus menggencarkan testing hingga akhirnya bisa melampaui standar WHO.
Ia pun mendorong 29 provinsi lain di Indonesia untuk berusaha lebih keras sehingga kapasitas testing secara nasional juga bisa sesuai standar.
Sampai Selasa kemarin, pemerintah baru memeriksa 3.276.402 spesimen dari 1.962.754 orang yang diambil sampelnya. Padahal, penduduk Indonesia mencapai 270 juta penduduk.
Berdasarkan data worldometers, dalam hal testing, Indonesia baru melakukan 11.948 tes per 1 juta penduduk. Indonesia pun menempat peringkat 157 dari 215 negara dalam hal jumlah ini.
Adapun dari hasil tes sejauh ini, ada 282.724 orang yang positif terjangkit Covid-19.
Pasien yang sudah dinyatakan sembuh kini mencapai 210.437 orang. Sementara itu, angka kematian akibat Covid-19 mencapai 10.601 orang.
Kunci pencegahan
Guru Besar Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Ascobat Gani mengatakan, testing merupakan kunci pencegahan penularan Covid-19.
Dengan tes masif, bisa ditemukan sebanyak-banyaknya pasien positif Covid-19.
Perawatan dan isolasi pun bisa dilakukan sehingga tak terjadi penyebaran yang lebih luas.
Namun, ia menilai tes Covid-19 di Tanah Air memang masih kurang.
“Pelaksanaan testing atau surveilans harian sebagai proses deteksi di Indonesia juga masih mengalami masalah,” ujar Ascobat dikutip dari siaran pers UI yang diterima, Selasa (29/9/2020).
Ia mengatakan, testing di Indonesia rata-rata masih 21.000 orang per hari atau 165.000 per minggu.
Dari hasil testing yang dilakukan, kata dia, positivity rate Indonesia berada pada angka 14,3 persen.
Positivity rate merupakan persentase orang yang memiliki hasil tes positif Covid-19 dibandingkan jumlah orang yang dites.
Artinya, kata dia, setiap kerumunan sekitar 100 orang terdapat sekitar 15 orang yang dapat menularkan virus.
Kendala
Wiku pun mengakui minimnya jumlah tes ini karena pemerintah masih kesulitan melakukan tracing atau pelacakan kontak pasien Covid-19.
Wiku beralasan, petugas di lapangan kesulitan karena penolakan dari masyarakat.
“Kendala terbesar saat ini adalah tracing atau pelacakan. Karena banyak resistensi di masyarakat, di lapangan, akibat adanya stigma masyarakat terhadap penderita Covid-19 yang harus dihindari,” kata Wiku.
Padahal, pelacakan kontak ini sangat berperan dalam menambah jumlah testing.
Idealnya, tiap orang yang baru melakukan kontak erat dengan pasien positif Covid-19 harus ikut menjalani swab test.
Namun, pada banyak kasus, masyarakat enggan terbuka saat petugas di lapangan berupaya melakukan pelacakan kontak karena takut akan stigma negatif.
Selain itu, adanya berita hoaks bahwa Covid-19 hanya konspirasi turut mempersulit kerja petugas dalam melakukan pelacakan kontak.
“Kami imbau masyarakat memahami, keterbukaan kita semua sangat penting dalam upaya pemerintah melakukan tracing. Harus terbuka terkait riwayat perjalanan dan interaksi yang sudah dilakukan,” kata Wiku.
Wiku menegaskan bahwa yang menjadi musuh bersama adalah virus corona Sars-Cov-2 yang menyebabkan Covid-19.
Sementara itu, pasien yang terjangkit Covid-19 justru harus didukung, bukan diberikan stigma negatif dan dijauhi.
“Jujur dan suportif ketika dilakukan identifikasi kontak erat dengan petugas adalah hal penting untuk sukseskan program 3T (testing, tracing, treatment),” kata dia.(msn)