Bersyukurlah kita yang memiliki perangkat komunikasi berbasis on line. Segala informasi politik, kabar, hiburan, hingga belanja berada dalam selembar layar sentuh. Dunia dalam genggaman, menelusuri apapun tanpa harus kemana mana.
Sementara di sebuah sudut desa di kaki bukit, dimana para penghuninya sibuk bekerja di ladang lalu pulang istirahat demi esok bekerja lagi. Di perkampungan nelayan sebuah pulau terpisah dari kota dimana aktifitas melaut kemudian pulang menjual hasil lalu beranjak tidur berharap esok cuaca baik untuk melaut lagi. Mereka orang orang yang belum tersentuh tehnologi adalah bagian dari penghuni negara ini.
Sekecil apapun partisipasi mereka dalam Pemilu nanti tetaplah sebuah kepedulian pada bangsa. Dan tanpa kita sadari merekalah golongan yang rentan terhadap informasi palsu, provokasi dan kabar fitnah. Mereka tidak bodoh, tetapi kabar info kebaikan tidak bisa langsung sampai kepadanya. Kabar di luar dunianya datang dari seseorang yang memiliki perangkat teknologi komunikasi. Orang-orang yang memamerkan tehnologi hingga membuat mereka takjub dan mempercayai.
Jangan tanyakan darimana mereka tahu Jokowi komunis, padahal melihat TV-pun nyaris tidak pernah.
Jangan tanyakan darimana mereka yakin Jokowi anti Islam, karena sebelumnya di musholah hanyalah tempat mereka berdoa dan bersyukur kepada Sang Pencipta.
Mereka kini sedang dipaksa untuk berfikir tentang politik. Dipaksa untuk mendukung Calon Presiden dengan cara membenci Calon Presiden lainnya. Mereka yang sebelumnya hidup tenang tanpa amarah kini mulai punya kebencian.
Fitnah, berita bohong hingga bibit kebencian ditujukan kepada mereka tidak ber-gadget, disampaikan oleh orang orang yang hidup dengan gadget.
Ironis namun nyata adanya.
Dan ketika kita diam saja, sama halnya membiarkan kejahatan nyelonong di depan mata. Saat kita asik bengong saja, sama halnya membiarkan hasutan penuh kebencian merajalela.
Akankah kita biarkan orang-orang bergadget itu menebarkan benih-benih kebencian? Akankah kita biarkan orang-orang bergadget itu menanamkan hasutannya? Jangan bangga sebagai silent majority, di kala masa depan bangsa dipertaruhkan. Jangan senang sebagai silet majority, di saat kemajuan yang tercapai saat ini terancam hancur lebur.
Diam dan bengong bukanlah solusi. Aksi nyata dan kerja nyata solusinya.
Bangkitlah, sudah bukan lagi saatnya berprinsip “Diam Itu Adalah Emas”. Diam berarti harus siap dilupakan, bengong berarti harus siap tersingkirkan.
Bangunlah, mereka punya gadget, kita pun punya gadget, mereka menebar kebencian, kita menebar kasih. Mereka menebar hasutan, kita menebar kejujuran.
Biarkanlah hasil kerja Jokowi yang berbicara kepada para nelayan, kepada para petani dan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa saudara-saudara kita yang ada di pelosok, di pedalaman yang selama ini bertemankan lilin dan obor di kala malam menjenguk, sejak di era Jokowi lah dapat belajar dan beraktifitas malam diterangi listrik.
Bahwa saudara-saudara kita yang dipinggiran, tersisihkan dan hampir terlupakan, di masa Jokowi lah mendapatkan perhatian lebih.
Bahwa negara kita dahulu, dijarah kekayaan lautnya, dikuras kekayaan alamnya, di bakar hutannya, baru dikepemimpinan Jokowi lah maling-maling itu ditenggelamkan, diusir dan kekayaan alam kita direbut kembali.
Bahwa negeri kita yang dahulu dicemooh, dipandang sebelah mata, kini menuai rasa kagum dan pujian bangsa-bangsa lain di dunia.
Para koruptor, para mafia, para radikalis yang sakit hati karena tujuan busuk dan mata pencahariannya diobrak-abrik Jokowi, kini bersatu berusaha mati-matian menjegal orang baik ini.
Masihkah akan kita biarkan?