Indovoices.com– Ketika saya kuliah, saya sering keliling ke berbagai gereja. Gereja itu berbagai aliran. Aliran lutheran, Calvinis, reform, Methodis, Pentakosta, Kharismatik, Injili, Presbiterian, baptis, bala keselamatan dan lain sebagainya. Ke gereja Katolik cukup sering juga.
Kegiatan yang berkaitan dengan Kristen, saya pernah aktif di GMKI, Perkantas dan cukup dekat dengan kawan-kawan aktivis LPMI, Navigator dan beberapa lembaga kristen.
Cukup banyak pendeta yang saya kenal. Dari semua kegiatan itu, ada satu hal yang menarik dari ibu gembala. Ibu Gembala dari Gereja Misi Injili Indonesia (GMII). Ibu gembala bilang bahwa inti mengikut Yesus adalah menyangkal diri. Jika ikut Yesus secara serius kita harus “mematikan” kedagingan kita. Hidup kita harus berpusat secara total kepada Yesus.
Dalam perjalanan hidup ini, saya melihat guru di desa sawahnya banyak ilmunya dangkal. Guru banyak yang ilmunya tak berkembang, tetapi harta kekayaanya yang meningkat. Tidak banyak guru yang ilmunya luas sawahnya sedikit. Guru kita sedikit yang ilmunya luas dan perilakunya menjadi teladan. Guru jarang fokus agar menjadi guru yang hebat.
Saya melihat petani tapi sawah dan ladangnya tidak ada. Muncullah istilah buruh tani. Belum ada usaha optimal pemerintah agar semua petani memiliki lahan pertanian. Konyolnya, tiba tiba saja perladangan masyarakat dijadikan hutan lindung. Ladang masyarakat dijadikan hutan lindung tanpa menginventarisasi dampaknya jika perladangan masyarakat dijadikan hutan lindung.
Rakyat hanya bisa menjerit. Dan pemerintah dengan gagah perkasa menyebut itu hutan negara. Ladang rakyat dijadikan hutan negara dan akan diserahkan ke investor. Pejabat negara tidak berpihak kepada keadilan rakyat sebagai warga negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi. Seolaholah investor dipastikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika pensiunan tentara memiliki banyak uang atau harta, bisa dikagumi orang. Idelanya, pensiunan tentara hidupnya sederhana. Mengapa?, karena tentara adalah abdi negara. Mustahil seorang pensiunan tentara banyak uang dan harta karena sejatinya hidupnya total abdi negara. Hidup yang total abdi negara itulah sejatinya yang harus kita kagumi. Bagaimana mungkin abdi negara secara total memperkaya diri?.
Di dunia kampus, banyak dosen yang menjadikan kampus tempat bekerja hanya sebagai corong untuk pekerjaan lain. Dosen sebagai status sosial. Ketika dosen banyak uang dari proyek dengan mengurus mahasiswa setengah hati dianggap sukses. Yang penting uang dan harta banyak. Itulah dosen yang dianggap keren?.
Dalam dunia nyata, banyak logika yang tidak sehat. Ada wartawan, kosa katanya amat terbatas, pendeta tak rendah hati, guru tak cakap mengajar, petani tak cakap bertani, penjual makanan tidak pembersih, dan lain sebagainya.
Lalu, mengapa guru tidak ilmunya banyak hartanya banyak?. Mengapa pensiunan tentara bukannya hidup sederhana justru kaya raya?. Mengapa dosen tidak fokus di kampus untuk mengajar dan riset?. Mengapa pula pendeta kagum dengan orang kaya yang tak jelas sumber kekayaanya?. Mengapa pendeta tidak kaya hati?. Jawabanya adalah apa yang disebut ibu gembala itu. Kita tidak menyangkali diri kita. (gurgur manurung)