Indovoices.com-Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Indonesia sebagai laboratorium pluralisme karena kemajemukan yang dipersatukan mencakup ribuan pulau dengan berbagai kekayaan alam (geografi) serta manusia dengan berbagai ikatan primodial dan budayanya (demografi).
Dirinya juga mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yang disatukan dengan ideologi. Namun, menurutnya, masih ada yang mempersoalkan eksistensi ideologi karena dianggap ingkar janji.
“Tetapi kita mempunyai ideologi Pancasila yang berfungsi sebagai pemersatu dalam keberbedaan untuk mencapai tujuan bersama,” kata Menko Polhukam saat menjadi pembicara pada Executive Gathering Kementerian Keuangan 2020 di Aula Mezzanine, Kementerian Keuangan, Jakarta.
Menko Polhukam menjelaskan bahwa fakta bersatu dalam keberbedaan itu sering disebut Pluralisme dan itu sering disalahpahami dengan mengartikannya bahwa semua agama benar.
“Pluralisme adalah kesadaran akan keberagaman sebagai fitrah yang kemudian melahirkan sikap toleran,” jelasnya.
Menko Polhukam mengatakan Indonesia merdeka sebagai negara dan bangsa yang diikat oleh ideologi seperti yang tertuang dalam empat tujuan nasional negara dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
“Tujuan negara kita ada 4, yang diawali dengan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia yang bisa diartikan menjaga keutuhan ideologi dan teritori,” paparnya.
Selain itu, dirinya juga mengungkapkan bahwa ada beberapa yang menyoal istilah radikal karena artinya yang ambigu. Tetapi, lanjutnya, istilah tersebut ada di dalam hukum, yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018, dan hukum selalu memberikan arti stipulatif terhadap istilah yang dipakainya.
“Ada istilah teror radikalisme, kontra radikalisasi, terpapar, deradikalisasi, dan lain-lain. Setiap kebijakan terkait dengan radikalisme harus dikaitkan dengan arti stipulatifnya. Radikalisme tidak terkait dengan agama tertentu,” jelas Menko Polhukam.
Bernegara, lanjutnya, adalah fitrah dan sunatullah. Menurutnya, inti khilafah dalam arti berpemerintahan ada dalam Islam, tetapi tidak ada sistem khilafah tertentu yang harus diikuti, yang penting adalah prinsip dan tujuan syar’i-nya.
“Karena sistem khilafah tertentu itu tidak ada di dalam Qur’an dan Sunnah, maka sistem khilafah sebagai fakta merupakan produk ijtihad atau hasil pemikiran manusia yang muncul ke dalam banyak sistem yang semuanya sama sahnya secara syar’i,” terang Mantan Ketua MK tersebut.
Sementara sistem pemerintahan berdasarkan Pancasila, Menko Polhukam menjelaskan, sama seperti sistem-sistem lain di dunia muslim sejak zaman Khulafaur Rasyidin sampai sekarang adalah syah secara syar’i sebagai produk ijtihad yang berbeda-beda.
“Istilah yang dipakai bisa Darul Ahdi, Darul Mietsaq, Darus Syahadah, yang harus ditaati sebagai kesepakatan,” tandas Menko Polhukam. (jpp)