Indovoices.com-Kemarin pagi, saya jumpa anak anak Papua. Halo bang, sapanya sambil menjulurkan tangan untuk salaman. Eits, lupa iya kita lagi menghadapi Corona?. Bahasa tubuhku, intonasiku saya usahakan dalam bentuk canda. Hal itu kulakukan untuk menjaga perasaannya agar tidak tersinggung. Saya melihat, mereka tidak tersinggung. Agaknya, bahasa tubuh dan intonasi bahasaku pas untuk menjaga perasaan anak anak muda itu.
Tiba tiba, ada telpon dari Pontianak. Dia kupanggil bapa uda. Saya disuruh mencari pendeta untuk marulaon nabadia (perjamuan kudus) di RS Kanker Darmais. Menantunya sudah lama dirawat disana. Saya terus ke Darmais. Saya masuk, dan langsung kucari alkohol untuk tangan saya.
Saya ke lantai 6 dan jumpa keluarga. Mereka langsung menjulurkan tangan dan saya pasrah. Tidak bisa mengelak. Kemudian saya cari alkohol lagi.
Dalam kehidupan sehari hari, kita seringkali diperhadapkan kepada masalah perasaan. Padahal, perasaan itu harus kita taklukkan untuk keselamatan kita. Sejatinya, kita harus mengorbankan, pertaruhkan perasaan kita atas dasar demi sebuah memutus mata rantai virus corona.
Kita harus menyadari, bahwa kita diperhadapkan pada realita nyata bahwa virus corona mengancam kita secara nyata. Dan, kita harus bersama melawannya dengan tanpa sentuhan satu dengan yang lain. Kita harus berkomitmen untuk menghindari kerumunan. Kita harus melatih diri untuk itu. Perjuangan itulah yang dibutuhkan sekarang.
Tidak biasa saya di rumah. Saya orang yang hiper aktif sejak anak anak. Tetapi, kini saya harus di rumah. Di rumah belajar bersama keluarga. Tidak kuat, saya menyetir keliling perumahan kami.
Saya memhami budaya kita harus bersalaman. Tetapi, hal itu bisa kita hindari untuk sementara waktu. Tentu saja ada yang kita korbankan yaitu perasaan. Perasaan tidak enak. Ayo, kita hindari itu.
Sebetulnya, perasaan tidak lagi kita korbankan jika kita sama sama sadar. Jadi, tulisan ini mengajak kita untuk sadar. Sehingga, tidak ada lagi yang kita korbankan. Selamat menikmati social distancing.
#GURMANPUNYACERITA